Minggu, 08 Oktober 2023

Kalau Bukan Karena Cinta, Masihkah Disebut Namanya Setiap Saat?

 

Dimuat di Jawa Pos Radar Banyuwangi, 30 September 2023

                  Masjid masih sepi. Aku menunggu beberapa saat, siapa tahu warga yang biasa adzan segera datang. Karena tidak ada yang datang, maka terpaksa aku menjadi muadzin.

            Kemudian aku merasa sebaiknya melantunkan sholawat. Kuputuskan melantunkan sholawat Tibbil Qulub. Tiga kali kuhitung aku melantunkan sholawat Tibbil Qulub, tapi tak ada warga yang datang ke masjid. Akhirnya kuputuskan untuk iqamah dan shalat dhuhur sendirian di masjid ini.

“Ke sawah, Pak?” tanyaku berbasa basi selepas keluar masjid kulihat seorang lewat.

“Iya, Mas. Masjid sepi hari ini. Banyak warga ke balai desa,” jawab bapak itu.

Aku baru pindah ke desa ini dan belum mengurus surat pindah, aku baru tahu kalau hari ini ada pemilihan kepala desa

 

***

 

Sebelum pindah ke desa ini, aku ikut sebuah demonstrasi gara-gara isu bahwa sebuah masjid besar akan dihancurkan oleh pemerintah. Kawanku yang mendadak berperilaku tampak relijius mengajakku berunjuk rasa menolak penghancuran masjid oleh pemerintah. Katanya umat seluruh negeri akan tumpah ruah ke kota demi menolak penghancuran rumah ibadah ini.

Ia mengobarkan api dalam darahku dengan kalimat-kalimat memotivasi yang hebat membuatku terpengaruh. Atas nama agama, jiwa kami menggelegak. Ada iming-iming upah pada setiap anggota yang ikut. Makin tertariklah kami untuk bergabung.

Namun demonstrasi berlangsung ricuh. Semangat yang berkobar untuk menentang pemerintah beradu dengan para petugas keamanan di tengah terik matahari. Emosi meluap menghujat pemerintah dari seorang di atas panggung yang membawa pengeras suara. Api menyala dari sebuah ban bekas.

Mulanya saling dorong antara massa dan petugas. Sampai akhirnya bentrokan antara demonstran dengan petugas keamanan terjadi. Saling lempar batu, bom mototov dan sebagainya. Berbalas dengan semprotan air dan gas air mata dari petugas. Suara letupan senjata seringkali terdengar. Demonstran terdesak dan kocar kacir. Aku lari tunggang langgang setelah kepalaku terkena pentungan, tapi aku sempat membalas dengan tinjuku dan membuat wajah salah satu petugas keamanan berdarah. Dalam pelarian menghindari serangan petugas, aku menemukan gang sempit yang bisa menyembunyikan badanku.

Tak ada upah yang dijanjikan. Pun tak ada makan siang yang juga sudah dijanjikan. Hanya peluh mengucur, luka di kepala serta perut yang lapar menghajarku. Sampai pada akhirnya aku pulang sendirian setelah merasa keadaan sudah aman. Aku menyesal tidak memperhatikan nasehat ibu yang sedang sakit di rumah.

“Perbanyak sholawat, Nak. Biar hatimu teduh. Agar amarahmu reda. Pikir dulu lebih dalam ajakan temanmu itu. Enam tahun kamu mondok tentu banyak ilmu yang kamu dapat.” Begitulah nasehat ibu.

“Tidak, Bu. Masjid akan diratakan itu sebuah kebijakan yang jahat. Aku harus menolak,” tandasku.

“Istighfar, Nak. Sholawatlah pada Nabi Muhammad.”

“Tapi, Bu?”

“Orang bakhil adalah orang yang ketika mendengar nama Nabi Muhammad disebut, ia tak bersholawat,” lanjut ibu.

Aku terhenyak, dan seketika bersholawat. Namun aku tetap pada keyakinanku untuk mengikuti ajakan temanku. Hatiku sudah terbakar habis.

“Sholawat adalah cinta. Kalau bukan karena cinta, masihkah disebut namanya setiap hari?”

Tapi efek dari demonstrasi yang ricuh itu adalah ternyata namaku sudah dalam pengawasan petugas keamanan. Juga nama-nama demonstran yang lain.

Dalam kamar, aku berpikir usaha apa yang akan kulakukan, setelah pemerintah kurasa mempersempit gerakku mencari nafkah untuk keluarga. Kulihat rak buku di kamar penuh. Ide langsung muncul untuk menjual buku-buku yang kupunya menggunakan gerobak di depan pasar.

Satu dua orang datang untuk membaca-baca buku. Itu membuatku semakin bersemangat. Sesekali sambil menerangkan isi buku yang dipegang seseorang yang mendekat.

Sampai kemudian dua orang bertubuh tinggi besar datang. Seorang mengambil buku berwarna merah berjudul “Aksi Massa” yang ditulis Tan Malaka. Kuterangkan isinya dan kujelaskan pula siapa Tan Malaka. Lalu seorang lagi mengambil buku “Negeri Para Bedebah” novelnya Tere Liye dan buku lain yang berjudul “Corat-Coret di Toilet” penulisnya Eka Kurniawan. Dan inilah yang menjadi celah untuk hidupku lebih berlobang.

Ternyata dua orang tersebut adalah petugas keamanan dan memata-mataiku. Aku dituduh tidak setia pada negara karena menyimpan bahkan menjual buku-buku terlarang. Aku membantah tuduhan itu, tetap aku dibawa juga ke kantor mereka dan gerobak juga buku disita.

Aku diinterogasi bermacam-macam. Kembali aku kecewa, mereka tidak peduli bahwa aku butuh uang untuk membeli obat bagi ibu. Aku marah dan berjanji akan kembali mengambil gerobak warisan bapak, apapun yang terjadi. Ibu menangis mendengar ceritaku setelah sampai di rumah.

“Turunkan amarahmu dengan sholawat. Dikasari bagaimanapun juga, Rasulullah tetap sabar dan pemaaf,” kata ibu pelan. “Kau pernah dengar seorang Yahudi yang matanya buta memaki-maki Rasul dengan amat kasar, tapi Rasul tetap dengan lembut menyuapinya makan?” tanya ibu.

Aku diam, gigiku gemeretak.

“Tiap hari orang Yahudi itu menghina Rasul. Tapi Rasul tetap dengan lembut menyuapinya. Sampai akhirnya, Rasulullah wafat. Abu Bakar menggantikan Rasul menyuapi orang tersebut. Abu Bakar sebenarnya marah mendengar makian tersebut, tapi beliau menahan amarah ketika dia menghina Rasul dengan amat kasar. Kemudian orang Yahudi itu sadar bahwa yang menyuapi tersebut berbeda dengan orang yang kemarin menyuapinya, sebab orang yang menyuapi sebelumnya lebih lembut. Abu Bakar bilang yang biasa menyuapinya adalah yang dia hina dan dia maki. Seketika Yahudi tersebut menangis,” lanjut ibu.

Hatiku bergetar mendengar cerita ibu. Adakah orang selembut dan sesabar Rasulullah?

Malam pekat, dengan membawa bahan bakar yang kuambil dari tangki motor, aku pergi ke kantor petugas keamanan. Aku ingin merencanakan aksi nekat seperti dalam buku “Dalam Kobaran Api”, membakar diri dan memicu aksi rakyat seluru negeri untuk menolak ketidakadilan. Kalau kupikir, apa yang kualami ini seperti dalam novel karya Tahar Ben Jelloun, penulis Maroko itu.

Sesampai di kantor petugas keamanan, aku menghampiri seorang petugas yang berjaga. Baik-baik aku meminta gerobakku kembali karena besok akan kugunakan lagi berjualan. Tapi dia tersenyum menyeringai dan memukul lenganku dengan kasar sambil mengusirku pergi.

Aku pergi mendekat ke gerobak yang di parkir di halaman. Kutatap petugas tadi dari kejauhan yang terlihat sudah memejamkan mata. Kusiramkan bahan bakar ke seluruh tubuhku sambil mengumpat dan berjanji aksi nekatku akan berakhir sama dengan novel yang sudah kubaca. Aksi seluruh rakyat akan menghentikan kedholiman pemerintah setelah mendengar aksi bakar diriku.

Tapi seketika wajah teduh ibu membayang di depan mataku. Lengkap dengan nasehatnya untuk memperbanyak sholawat. Layar lain terlihat ibu bercerita betapa sabarnya Rasulullah dalam menghadapi orang-orang yang membencinya. Kenangan lain datang dari para guruku yang tak sekalipun mengajarkan kebencian, yang selalu mengingatkan untuk tetap bersikap tawadhu’.

Korek api yang siap menyala akhirnya kubuang. Hanya tubuhku basah kuyup beraroma bensin. Aksiku berakhir antiklimaks. Wajah-wajah orang yang menyayangiku memenangkan pertarungan melawan amarahku.

 

***

 

           

Setelah pulang dari masjid, aku menuju perpustakaan pribadiku dan mengambil novel Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari. Novel tentang korupsi ini pernah kubaca. Siang ini aku iseng ingin membacanya lagi. Kubuka acak halaman, kebetulan terbuka halaman dengan kejadian saat Kabul berdiskusi dengan Basar dan Pak Tarya tentang tujuan Nabi Muhammad diutus. Disebutkan dalam diskusi bahwa, “Tidak diutus Nabi Muhammad kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia.” Kata kecuali dalam kalimat itu menjadi diskusi yang panjang.

Di ruang perpustakaan pribadiku, aku membaca sholawat Nariyah. Dan seperti hari-hari yang lalu, kesejukan yang entah datang darimana itu, menyambutku. Kemarau panjang ini membawa udara yang gerah meski di malam hari di desa. Tapi kesejukan ini terasa berbeda. Shollu alaihi. Kesejukan kembali menyapa.

Selepas sholat Maghrib di masjid, beberapa orang ngobrol tentang pemilihan kepala desa. Kata mereka, petahana kalah.

Malam hari ada keramaian di rumah salah seorang tokoh desa yang kebetulan masih bertetangga denganku. Aku keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Dari kabar yang beredar di antara orang-orang yang berkerumun, tokoh tersebut baru dipulangkan setelah diculik tadi siang oleh seorang wakil rakyat daerah.

Kulihat mobil polisi diparkir di depan rumah tokoh tersebut. Aku mendekat di teras rumah. Mendengar pemilik rumah bercerita tentang kejadian yang menimpanya.

Peristiwa berawal dari beberapa waktu sebelum pemilihan kepala desa, tokoh itu didatangi oleh wakil rakyat. Maksud kedatangannya meminta tokoh desa mendukung kepala desa petahana, dengan cara menjadi tim sukses. Tokoh desa menyetujui, karena ada perasaan segan dan khawatir akan keselamatan keluarganya, sebab wakil rakyat memintanya dengan ancaman.

Ketika pemilihan desa berlangsung dan hasil tak berpihak pada petahana, wakil rakyat kembali datang ke rumah tokoh itu. Mengintimidasinya di dalam mobil, wajahnya diludahi oleh orang terhormat tersebut. Setelahnya sebuah pukulan dari tangannya yang besar menghantam wajahnya hingga salah satu gigi tanggal. Darah mengucur dari mulutnya.

 

***

 

            Aku didatangi teman-temanku dulu yang ikut demo. Kali ini ia kembali mengajakku untuk demo karena menilai seorang telah menghina agama. Ia bersemangat menceritakan kronologis sehingga ia terbakar emosi, apalagi sang pimpinan demo mengklaim bahwa demo ini adalah demo untuk berjihad. Sesaat hatiku bergejolak. Sambil mengepalkan tangan, temanku memberi semangat keras sekali. Kuikuti dengan kepalan tangan serupa.

            Masih dalam kepalan tangan, kuingat ucapan ibu yang membuat hatiku merasa lapang, “Perbanyak sholawat, Nak. Agar hatimu teduh.”

            Angin sejuk berhembus. Kulihat mata temanku yang menyala mulai meredup setelah sambil tersenyum kuulang kata-kata ibu. Shollu ‘ala Muhammad.

 

 

 

 

 

 

 

Tentang Penulis

 

 

Danang Febriansyah, alumni Pondok Pesantren Al Muayyad Surakarta dan alumni #KampusFiksi 13 Yogyakarta. Dari Sastra Alit Surakarta belajar lebih banyak karya sastra. Dari FLP Solo tahu bahwa menulis adalah mencerahkan.

Pernah menulis cerpen, puisi, resensi buku dan dimuat di berbagai media, Solopos, Joglosemar, Jawa Pos Radar Mojokerto, Koran Muria, Merah Putih Pos, Koran Pantura, Simalaba.net, Floressastra.com, Cendananews.com, magrib.id, dan lain sebagainya.

Pernah membukukan tulisannya dalam antologi dan buku tunggal berupa cerpen, memoar dan puisi diterbitkan oleh penerbit Elex Media, nulisbuku.com, Taman Budaya Jawa Tengah, Diomedia. Novelnya “Arundaya: di Masjid Kutemukan Cintaku” diterbitkan Penerbit Diomedia 2019. Novel “Arundaya” kemudian dialihbahasakan ke dalam Bahasa Jawa, dan terbit pada Oktober 2021.

Tinggal di Bulukerto, Wonogiri sambil membuka perpustakaan nirlaba “Fatiha” dan tergabung dalam Forum Taman Baca Masyarakat Kab. Wonogiri.


Jumat, 06 Oktober 2023

Lebaran Reri

 

* Dimuat di Majalah Hadila, September 2013


Sore ini ketika bulan ramadhan telah lewat dari satu minggu, Reri, gadis kecil yang cantik itu menemui bundanya yang sedang menyiapkan makan untuk berbuka puasa di dapur.
“Bunda, Reri mau puasa.” Katanya
“Benarkah?” Tanya bunda menghentikan aktivitasnya dan menatap Reri penuh kasih.
“Iya bunda, Reri ingin bunda tahu kalau Reri juga kuat puasa,” jawab Reri meyakinkan bunda.

*          *          *

Siang ini begitu terik, panasnya seperti membakar kulit. Reri melangkah pelan, badannya goyah. Kaki nya seakan tak sanggup lagi menyangga tubuh. Tapi dia berusaha bertahan.
Dering suara es krim mengagetkannya. Pikirannya segera melayang. Membayangkan dinginnya es krim ketika sampai di lidah, menyegarkan tenggorokannya yang kering. Sekuat tenaga Reri berusaha tidak memperhatikan suara es krim itu, dan usahanya berhasil ketika es krim itu berbelok di tikungan gang.
            Dia meneruskan langkahnya kembali. Ini puasanya pertama setelah Ramadhan sudah berjalan satu minggu. Nyaris saja dia batal ketika tergoda oleh es krim, tapi kalau ingat dengan orang yang datang ke rumahnya kemarin, dia berusaha menguatkan hatinya, uang sakunya harus bisa terkumpul sampai puasa terakhir nanti. Ada yang harus bahagia selain dirinya ketika lebaran tiba.

*          *          *

            Sepulang dari tarawih kemarin lusa, Reri dengan bunda berpapasan dengan seorang ibu dengan menggendong bayi, sementara tangan kanannya membawa keranjang yang berisi barang-barang bekas. Di sampingnya seorang anak kecil berjalan juga membawa tas kecil yang berisi barang-barang bekas.
            “Maaf, ibu mencari barang bekas?” Tanya bunda Reri kepada pemulung itu.
            “Iya,” jawabnya singkat.
            Reri melihat perempuan kecil seusianya di samping ibu pemulung itu. Rasa iba menghampiri hati Reri. Ingin sekali Reri bertanya, tapi pertanyaan itu susah keluar, takut menyinggung perasaan anak itu.
            “Dirumah kami juga ada barang bekas, kalau ibu mau, ibu bisa mengambil dirumah kami sekarang,” ajak bunda.
            “Terima kasih bu,” sahut ibu pemulung itu sambil tersenyum.
            Reri sesekali melihat perempuan kecil anak ibu pemulung itu. Tas yang berisi barang bekas itu tampak begitu berat baginya. Tangan kanan dan kirinya bergantian membawa tas itu, kadang dia memijat bahunya, mungkin rasa capek begitu menyiksanya. Keringatnya bercucuran dari dahinya, meski ini malam hari, kelihatannya kakinya terlalu jauh berjalan.
            Sementara bayi dalam gendongan ibu pemulung itu tampak terlelap tidurnya. Sesampainya di rumah, bunda segera mengambil barang-barang bekas yang dimaksud. Ibu pemulung memilah barang-barang itu. Sambil menunggu ibu selesai, bunda bertanya “Kok malam-malam mencari barang bekas?”
            “Kalau siang sudah kalah cepat dengan yang bawa mobil,” jawabnya sedikit bersedih, sambil mengelap keringat di wajahnya, ibu itu kembali memilah barang-barang dari bunda. Reri hanya melihat dari samping bunda.
            “Rumah ibu jauh dari sini?”
            “Kami dari luar kota, di sini kami cuma mengontrak di bantaran kali sebelah sana.”
            “Mereka anak ibu?” Tanya bunda lagi sambil melihat dua anak yang digendong dan yang membawa tas barang bekas.
            “Iya, ini yang sulung, Marni,” sambil mengusap rambut perempuan kecil yang rambutnya kemerahan itu. “Dan ini si bungsu, Cici,” tambahnya sambil melihat bayi yang digendongnya.
            “Marni kelas berapa?” Tanya bunda lagi
            “Kalau diterusin mungkin kelas tiga SD, tapi waktu kenaikan kelas, dia nggak mau sekolah lagi, karena sepatunya sudah rusak,” jawab ibu Marni.
            “Wah sama dong sama Reri, kelas tiga, tapi kok nggak mau sekolah lagi hanya karena sepatu rusak?”
            “Iya, malu sama teman-temannya, selalu menjadi bahan ejekan karena sepatunya yang jelek dan rusak.”
            “Kenapa nggak beli yang baru?”
            “Buat makan saja susah bu, jadi ya sudah kami pasrah saja.”
            Reri yang mendengar percakapan bunda sama ibu merasa kasihan dengan anak itu.
            “Puasa nggak, Marni?” Tanya ibu pada Marni
            “Puasa bu,” jawab Marni malu-malu.
            “Sudah bu, barangnya sudah saya pilih, ini uangnya,” kata ibu pemulung itu sambil menyerahkan sejumlah uang kepada bunda.
            “Oh, nggak usah, itu buat ibu saja, nggak usah bayar.”
            “Terima kasih sekali bu, terima kasih, semoga Tuhan yang membalas kebaikan ibu.”
            “Amiin.”

*          *          *

            Sepulang dari sekolah Reri langsung mengambil air wudhu dan sholat, setelah itu dia istirahat, ingin sekali dia membatalkan puasanya, apalagi panas matahari siang ini membuatnya sangat haus. Tapi jika ingat si Marni, dia merasa malu sendiri, meski malam hari, dia ikut membantu ibunya mencari uang, paginya dia tetap puasa. Makanya dia berusaha untuk terus kuat puasa hingga sebulan penuh.
            Direbahkan tubuhnya di kasur kamarnya, dengan jendela yang terbuka dan angin masuk kekamarnya membuat Reri perlahan tertidur.
            Uang saku sekolahnya dia tabung, dia nekat berjalan kaki, tidak naik becak langganannya, agar uangnya tetap utuh untuk lebaran nanti. Meski harus menahan haus.
            Meski puasa tidak jajan, tapi Reri selalu mendapat uang saku dari bunda untuk membayar becak yang mengantarkan dia ke sekolah dan menjemputnya ketika pulang sekolah. Tetapi ibu tidak tahu kalau Reri tidak naik becak, tapi berjalan kaki sementara uang sakunya dia tabung.
            Berhari-hari selama hampir sebulan bulan puasa dia melakukan itu, tidak naik becak, tanpa sepengetahuan bunda. Sampai hari-hari terakhir puasa, uang saku Reri dirasa sudah cukup, maka Reri mencari becak langganannya untuk mengantarkan dia.
            Sore itu, di hari terakhir puasa, Reri dengan diantar becak, membawa hasil tabungan uang sakunya selama satu bulan, dia menuju toko sepatu, Dicarinya sepatu yang seukuran dengan kakinya, sepatu sekolah berwarna hitam itu akhirnya dia dapatkan. Setelah itu masih diantar becak, dia menuju bantaran kali. Hampir setengah jam dia sampai di bantaran kali, dicarinya anak kecil berambut merah yang sempat diajak bunda mampir kerumahnya bersama ibunya. Setelah dengan keberaniannya bertanya, akhirnya dia menemukan rumah Marni, anak itu.
            Rumah papan yang hamper roboh itu dengan pintu yang terlihat sekenanya menempel pada dinding, di depan rumah itu teronggok barang-barang bekas.
            “Assalamualaikum...”
            Tak lama kemudian salam Reri terjawab dari dalam.
            “Waalaikum salam...” Lalu keluarlah ibu Marni dengan menggendong bayi. “Oh, ini adik yang ibunya memberi kami barang bekas itu ya?”
            “Iya bu, saya Reri,” sahut Reri, rupanya ibu Marni masih ingat dengannya. “Marni ada bu?”
            “Ada, ada, masuk dik, maaf ya rumah ibu berantakan. Sebentar ibu panggilkan dulu, Marni sedang bantu ibu mencuci pakaian di kali.”
            Tak lama kemudian Marni datang, ibunya mengikuti dari belakang.
            “Marni, ini sepatu buat kamu, semoga cocok dan pas dengan kaki kamu. Tapi kamu harus sekolah lagi ya?” Kata Reri.
            Marni masih terdiam, tidak menyangka akan mendapat sepatu dari Reri.
            “Ambil saja, ini buat kamu koq, biar kamu bisa sekolah lagi.”
            Akhirnya setelah Marni melihat ibunya dan ibu Marni mengangguk, Marni menerima pemberian sepatu dari Reri.
            “Terima kasih dik, kamu sama baiknya dengan ibu kamu. Terima kasih, setelah lebaran pasti Marni mau sekolah lagi,” kata ibu Marni, “Marni, ayo bilang terima kasih sama Reri,” tambah ibu.
            “Terima kasih, Reri,” kata Marni.
            “Iya sama-sama Marni, saya juga berterima kasih sama kamu, karena memberiku semangat untuk berpuasa dan tak membatalkan puasa,” kata Reri sambil tersenyum. “Reri pamit pulang dulu ya Marni, Wassalamu’alaikum.”
            “Waalaikum salam,” jawab Marni dan ibunya.
            Reri kembali pulang dengan diantar becak tadi, sesampainya di rumah tepat adzan maghrib, waktunya berbuka.
            “Wah, tidak terasa ya hari ini tak terasa haus kalau banyak kegiatan,” batin Reri.
            “Reri, bunda bangga sama kamu,” suara bunda tiba-tiba mengagetkan Reri yang baru dari cuci tangan kemudian akan berbuka.
            “Kenapa bunda?”
            “Pak Tarno, tukang becak langganan kamu kemarin bilang sama bunda, kalau kamu nggak naik becak ketika berangkat ke sekolah, pak Tarno pernah Tanya kan sama kamu, tapi kamu jawab, mau menabung dulu. Terus tadi sebenarnya ibu mengikuti kamu, mulai dari toko sepatu, sampai ke bantaran kali, rumah Marni, kamu memberinya sepatu dari hasil menabung kamu.”
            “Jadi bunda tahu rencana Reri?” Tanya Reri
            “Bunda tahu nak, kamu membuat bunda bahagia nak.” Kata bunda sambil tersenyum.
            “Kan bunda yang memberi contoh ke Reri.” Reri ikut tersenyum
            “Dan bunda bangga sama kamu,” sebuah ciuman sayang dari bunda ke kening Reri, Reri memeluk bundanya.
            Kemudian terdengar kumandang takbir, pertanda besok adalah hari idul fitri.

*          *          *


Solo, 6 Agustus 2012

Penggali Pasir

 * Dibukukan dalam Anotologi Cerpen Joglo 15 : Botol-botol Berisi Senja, TBJT Juni 2014)


Pohon-pohon waru mulai berbunga. Bunga berwarna ungu dan kecil-kecil menyebar di setiap ranting itu merupakan sebuah pertanda alam yang diyakini oleh orang-orang Desa itu sebagai sebuah kabar gembira karena hampir setahun lamanya  kemarau menyiksa padi-padi di sawah.
            Sebuah tanda-tanda yang diberikan alam akan datangnya musim penghujan. Itu berarti mereka bisa memanen hasil tanaman mereka musim ini, juga berarti bahwa tanaman mereka terutama padi yang mulai menguning itu tak jadi mati.
            Meskipun bisa dipastikan musim ini panen, tapi bagi sebuah keluarga kecil di tengah pedukuhan di sebuah Desa terpencil itu juga merupakan awal dari petaka dikeluarganya.
            Tangis juga menggerimis seiring hujan mulai menjatuhkan titik-titik airnya dengan begitu deras diiringi petir yang menyambar saling bersahutan bertubi-tubi. Tangis yang histeris memilukan hati para pelayat yang hadir di rumah itu. Tangis dari seorang ibu yang kemudian pingsan akibat tak kuasa menahan hati yang berdetak dan seakan meledak akibat ditinggal mati anaknya yang masih berusia dua belas belas tahun.
            “Ini gara-gara pak Margono!” geram pak Widi, ayah anak itu. Anak laki-laki yang kini telah membujur berselimut kain kafan di tengah ruangan. Sementara para pelayat mengitarinya sambil membacakan surat Yasiin yang terdengar perlahan. Dua orang ibu membantu ibu anak itu dengan mengoleskan balsem agar sadar dari pingsannya.
            Di depan rumah, terdengar sebuah truk datang menderu-deru. Lalu turun seorang laki-laki gempal dan berjalan menuju rumah yang tengah berduka. Pak Widi melihatnya, menatap lelaki gempal itu dengan pandangan mata yang begitu tajam.
            “Itu dia!” ucapnya sambil berdiri lalu mengambil golok yang terselip di dinding bambu rumahnya. Segera dia keluar rumah menghampiri lelaki gempal itu.
            “Margono!! Ngapain kamu datang ke sini?! Mau menambah duka kami?!” Teriaknya dengan mencengkeram kerah baju lelaki gempal yang bernama Margono itu sambil mengacungkan goloknya.
            “Ada apa ini?” Margono tampak begitu pucat melihat sambutan macam apa yang didapatnya.
            “Nyawa dibalas nyawa!”
            Margono tak sempat bicara. Para pelayat terkejut setengah mati.

*          *          *

            “Sekarangkan musim hujan No, lebih baik hentikan dulu pekerjaanmu menggali pasir, sungai bisa tiba-tiba banjir besar. Bukit-bukit cadas bisa saja runtuh,” ibu Tino menasehati anaknya ketika Tino baru berganti pakaian setelah pulang sekolah.
            “Iya bu, tapi Tino pingin sekolah, paling tidak sampai lulus SMP. Tino nggak pingin menyusahkan ibu dan bapak.”
            “Ibu ngerti Ton, tapi akhir-akhir ini hujan sudah mulai deras. Sekarang mendung di luar sudah gelap. Sebentar lagi pasti hujan. Hari ini kamu di rumah saja dulu. Lebih baik kamu membantu bapak kamu dulu menggarap sawah.”
            Sebuah truk menggeram di depan rumah Tino.
            “Pak Margono sudah datang bu, aku harus menggali pasir untuk diantar ke Kecamatan. Tino berangkat bu,” Tino menyalami ibunya dan berlari menghampiri truk pak Margono.
            Seperti sudah tahu apa yang terjadi, ibu Tino melepas kepergian anaknya dengan air mata yang perlahan mengalir. Teringat cita-cita Tino untuk menyelesaikan sekolahnya. Ketika Tino tahu orang tuanya tak mampu lagi membiayai sekolahnya saat surat peringatan sekolah datang kepada ayahnya, Tino nampak begitu sedih. Ingin rasanya membantu meringankan beban orang tuanya dengan bekerja. Maka diputuskan untuk menggali pasir di bukit-bukit cadas di pinggir sungai dengan bersemangat. Pak Margono yang tahu semangat yang menyala pada diri Tino, segera mengajak Tino untuk menaikkan dan menurunkan pasir ke dalam bak truknya untuk diantar pada pemesan dengan imbalan sepuluh ribu rupiah setiap kali mengangkut.
            Awalnya Tino tak meminta ijin pada orang tuanya, sampai akhirnya orang tua Tino tahu sendiri kegiatan anaknya itu sepulang sekolah. Meski setiap kali Tino berangkat, ibu Tino selalu was-was. Gua-gua di dinding bukit galian dari para penggali pasir untuk mencari pasir yang lebih lembut itu bisa saja tiba-tiba runtuh. Apalagi para penggali pasir tak dilengkapi peralatan keamanan.
            Hingga siang yang mendung itu datang ibu Tino melepas kepergian anaknya juga dengan perasaan khawatir. Truk itu segera berlalu meninggalkan rumah Tino.
            Di bukit cadas di tepi sungai yang lebar itu Tino bersama beberapa orang tua yang juga penggali pasir dengan bersemangat mengayunkan cangkulnya ke bukit cadas hingga membentuk lubang yang mereka harapkan di dalamnya akan ditemukan pasir yang lebih lembut daripada pasir-pasir yang sudah tersedia di tepi sungai. Tino masuk ke dalam lubang itu dan mendapatkan pasir yang diharapkan. Lubang yang dalam itu begitu gelap. Gemuruh suara petir tak mereka hiraukan. Seperti musim penghujan yang lalu-lalu, hujan deras disertai petirpun tak mereka hiraukan demi mendapat rupiah sebagai imbalan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tapi bagi Tino, rupiah yang masuk ke sakunya adalah untuk membiayai sekolahnya.
            Sebentar kemudian sungai itu banjir. Banjir yang tak seperti biasanya, banjir yang besar. Gemuruh suara air sungai yang banjir itu membuat orang-orang di luar galian pasir itu segera berteriak memanggil teman-temannya yang masih di dalam lubang galian pasir untuk segera keluar. Dari beberapa lubang galian pasir satu-persatu penggali pasir keluar dan segera menyelamatkan diri. Tapi Tino karena semangat yang tetap menyala dan karena pendengaran Tino yang agak terganggu, ditambah gemuruh hujan yang mengguyur dan banjir yang membesar, Tino benar-benar tak mendengar teriakan orang-orang.
            Kemudian gemuruh bertambah, orang-orang panik, gemuruh itu bukan dari hujan ataupun banjir, tapi dari bukit cadas yang kemudian perlahan longsor, karena dinding-dindingnya banyak berlubang, sehingga tak kuat lagi menyangga bukit yang tampak kuat itu.
            Tino yang masih di dalam panik, segera dia berusaha keluar dari gua itu tapi ternyata lebih cepat longsor yang menutup pintu gua. Tino terpejam pasrah…

*          *          *

            “Ini gara-gara pak Margono!” geram pak Widi, ayah Tino di depan mayat anaknya yang telah terbungkus kain kafan.
            Lalu terdengar sebuah truk datang menderu-deru di depan rumahnya. seorang laki-laki gempal dan berjalan menuju rumah yang tengah berduka. Pak Widi melihatnya, menatap lelaki gempal itu dengan pandangan mata yang begitu tajam.
            “Itu dia!” ucapnya sambil berdiri lalu mengambil golok yang terselip di dinding bambu rumahnya. Segera dia keluar rumah menghampiri lelaki gempal itu.
            “Margono!! Ngapain kamu datang ke sini?! Mau menambah duka kami?!” Teriaknya dengan mencengkeram kerah baju lelaki gempal yang bernama Margono itu sambil mengacungkan goloknya.
            “Ada apa ini?” Margono tampak begitu pucat melihat sambutan macam apa yang didapatnya.
            “Nyawa dibalas nyawa!”
            Margono tak sempat bicara. Para pelayat terkejut setengah mati.
            Golok yang diayunkan pak Widi ke tubuh pak Margono meleset karena pak Margono dengan gesit menghindar dan membalikkan arah golok itu ke tubuh pak Widi.
            Semua tersentak. Pak Margono sendiri juga tersentak.

Sabtu, 28 April 2007

Pemabuk

 Dimuat dalam Buku Antologi 10 Cerpenis Terpiih Jawa tengah "JOGLO 4" Taman Budaya Jawa Tengah, April 2007.


__________

Hari ini …

“Ya harus bagaimana lagi, semuakan telah berjalan, saya sudah demikian lekat dengan ini. Jadi kasih saja saya upah yang saya minta ini. Bukan duit!” 
“Aku jadi tak mengerti, permintaanmu itu nggak biasa.”
“Sudahlah! Aku sudah mengerjakan semua yang kamu minta, jadi cepat kasih apa yang kuminta!” Han seakan telah habis kesabarannya
“Kamu yakin?”
“Kamu meledek?!” Han mencengkeram kerah baju majikannya itu
“Aneh saja apa yang kamu minta. Jadi uang ini tak kamu terima?”
“Cepat belikan saja uang ini dengan vodka, bir, arak, ciu, atau apalah. Sebelum saya naik darah!”
“…” majikannya menjadi ciut nyali, tak dapat berkata apapun.
“Cepat!!!”



* * *



Esoknya …
“Dia mati.”
“Masa’ sih?”
“Bener, tadi tergeletak di posko partai.”
“Sukurin.”
“Desa kita jadi aman.”
Kabar itu menggemparkan penduduk, mereka saling membicarakan tentang kematian yang mendadak itu. Han, biasa akrab disapa ditemukan tak bernyawa di posko partai di samping botol-botol minuman keras kegemarannya.



* * *



Tadi malam …
“Bagaimanapun juga, kita happy malam ini, lupakan kesedihan, minum sampai pagi. Kita pesta, tenang saja. Ini semua hasil kerja kerasku,” ucap Han dalam mabuknya.
Edi, Maman, Koko pun dengan gembira ikut merayakan hari bahagia Han itu di posko partai pinggir jalan di desanya. Suara jangkrik malam itupun seakan lenyap ditelan tawa terbahak-bahak mereka. Malam yang berselimut dingin itu menjadi hangat oleh aroma ciu yang mereka tenggak bergiliran.
“Han, benar ini hasil usahamu?”
“Hei, kamu nggak percaya?”
“Habis ngerampok apa kamu?”
“Ini halal, tahu?!”
“Gak ada cerita ciu halal. Ciu itu hangat, baru aku percaya.”
“Sudahlah! Nikmati saja!”
Merekapun bergiliran menenggak minuman keras itu, aroma khasnya segera menyembur menyelimuti posko. Kulit kacang berserakan menemani pesta minuman keras mereka. Penduduk tak ada yang berani mencegah perbuatan mereka. Mereka takut. Kapok menasehati. Seperti ketika pak Wadi mencoba menghentikan perbuatan mereka, penduduk takut hal itu terulang kembali.
“Ini posko partai, yang membuat juga warga masyarakat, kenapa kalian mengotorinya dengan minuman keras seperti ini?” begitu kata pak Wadi beberapa bulan lalu ketika menasehati geng Han.
“Hei pak, kami tak mengganggu kamu, kenapa kamu repot-repot mengganggu kami?!” Han menyeringai.
Pak Wadi tersinggung, “Han, kami diam bukan berarti kami menyukai perbuatan kalian ini. Kalian telah mengotori Desa dengan minum minuman keras seperti ini. Aku tidak melarang perbuatan kalian ini jika kalian tidak di sini melakukannya!”
“Kamu mengusir?! Terus mau kamu apa?!” Han berdiri dan mendekati pak Wadi, seperti biasanya ketika Han marah, kerah baju pak Wadi dicengkeramnya.
Pak Wadi menatap Han, aroma ciu menyambut hidung pak Wadi, mata Han melotot merah. Ciut juga hati pak Wadi. Dia diam tak bisa bicara. Seketika itu pukulan Han telak menghantam muka pak Wadi, hidungnya berdarah. Pak Wadi terjengkang.
“Pergilah kau pak Wadi! Jangan ganggu kami jika kamu tak mau diganggu,” kata Han sedikit berteriak. “Cepat pergi!!” teriaknya sekali lagi.
Pak Wadi berusaha berdiri tertatih-tatih, seketika itu teman-teman Han ikut menghajarnya, sekali lagi, pak Wadi terjengkang. Dan babak belur! Dini hari, ketika pesta telah berakhir, mereka pulang terhuyung-huyung dan tertawa terbahak-bahak. Ketika melewati depan rumah pak Wadi, mereka meneriakkan sumpah serapah dan mengumpat tak karuan. Segera batu-batu di pinggir jalan dilemparkannya ke rumah pak Wadi. Jendela kaca, genting rumahpun pecah berantakan.
Mereka makin larut dalam tawa mereka. Maka setelah itu tak ada warga masyarakat yang berani menasehati Han dan teman-temannya. Bukan berarti mereka telah menyukai kegiatan Han itu, mereka tetap membencinya. Hanya kemarahan dalam hati saja yang bisa mereka lakukan. Tak jarang teman-teman Han menghentikan kendaraan yang lewat di jalan depan posko yang telah dijadikan markas Han untuk meminta uang dengan paksa. Tentu saja mereka selalu berhasil mendapatkannya.



* * *



Pagi ini desa geger.
Han ditemukan mati di markasnya. Di samping kulit kacang yang berserakan, botol-botol minuman keras yang berserakan pula.
“Dia mati,” kata salah seorang penduduk.
“Masa’ sih?” tanya pak Wadi seperti tak percaya
“Bener, tadi tergeletak di posko partai.”
“Sukurin!”
“Desa kita jadi aman,” dan seorang penduduk itu berlari mengabari orang-orang seperti bahagia ketika lebaran tiba.
Merekapun berbondong-bondong ke posko partai untuk melihat mayat Han yang telah membujur kaku di dekat minuman keras kegemarannya. Mereka bukan warga yang pendendam, mereka juga bukan warga yang sombong. Mereka segera membawa mayat Han ke rumahnya di ujung Desa untuk memandikan dan mengkafaninya. Lalu menguburkannya.
Mantan istri dan anak Han telah dikabari, tapi hingga mayat Han akan dikebumikan, mereka tak juga datang. Han telah menceraikan istrinya yang tak kuasa melihat hobi Han, ketika istrinya menasehati Han, hanya tamparan dan penyiksaan yang didapatnya. Akhirnya istri Han minta cerai dan pergi dari Han membawa anaknya yang masih balita. Tanpa mantan istri dan anak Han yang mungkin masih membenci penyiksaan Han terhadap dirinya, penduduk segera berangkat menguburkan mayat Han. Upacara pemakaman berlangsung tanpa tetes air mata sedikitpun, hanya senyum-senyum bahagia yang tak tampak, tapi terpancar dari para penduduk yang melayat. Hanya segelintir orang saja yang ikut ke kuburan. 
Diantara mereka ada Edi, Maman dan Koko yang ikut dalam penguburan itu, hanya mereka yang tampak sedih. Penduduk tak mempedulikannya. Setelah penguburan di rasa cukup, orang yang ikut mengubur segera meninggalkan kuburan, tinggal teman-teman Han saja.
“Sudah, nggak usah lama-lama bersedih,” kata Maman, dengan mata yang memerah.
“Setelah ini siapa yang menraktir kita?” Koko tampak masih sedih.
“Tak usah fikirkan, cepat siramkan ciu itu,” balas Edi tak sabar.
“Sayang sebenarnya, ciu tiga botol harus disiramkan ke kuburan Han,” kata Koko yang membawa tiga botol minuman keras
“Nggak apa-apa, biar Han tetap mendapat kehangatan.”
Dan tiga botol minuman keras itu segera membasahi kuburan Han setelah sebagian minuman itu mereka minum bergiliran. Sebagai ganti taburan bunga di atas kubur.
Na’udzubillah!!! Batinku ketika mendengar cerita dari penduduk yang tinggal di Desa Han.


Senin, 29 Januari 2007 09.35 WIB
Based on true story

Sebuah Ironi

 


Dimuat di Solopos Minggu Agustus 2006 dengan Judul “ Sebuah Ironi” 


Senin pagi itu Kepala Sekolah mengumumkan bahwa siswa terbaik mereka terpilih untuk mengikuti olimpiade fisika tingkat nasional. 
“Kebanggaan bagi sekolah kita, satu dari kalian akan dikirim ke Jakarta untuk mengikuti olimpiade fisika tingkat nasional,” suara Kepala Sekolah menggema, “Setelah memenangkan lomba fisika di tingkat propinsi, Ririn, siswi Kelas tiga IPA kembali membuat sekolah kita bangga.” 
Ririn, siswa perempuan kelas tiga IPA itu terkejut. Dia tak pernah menyangka hasil belajar selama di SMA dan selalu mendapatkan ranking tertinggi setiap ulangan umum menuai hasil lain yang membanggakan dan dia sendiri tak pernah membayangkan. Sebab dia tak pernah tahu bahwa lomba fisika di tingkat propinsi itu dimenangkannya, pengumuman simpang siur, hadiahpun sampai sekarang tak pernah dia pegang. Hingga dia mengikis harapannya pada lomba tiga bulan lalu itu. 
Namun pengumuman Kepala Sekolah pagi ini benar-benar mengejutkan keberadaannya sebagai seorang siswa yang mendapatkan kompensasi karena keluarganya tergolong keluarga yang kurang mampu. 
Pengumuman sehabis upacara itu benar-benar membuat keringat dingin keluar. Suara gemuruh tepuk tangan dari seluruh peserta upacarapun membahana di halaman sekolah. 
Mereka bangga, mereka gembira. Ririn menangis … 


* * * 


Pengumuman enam bulan lalu itu bukanlah sebuah kenangan manis bagi seorang Ririn. Semua itu adalah kenangan pahit yang harus ditelannya. 
Ujian kelulusan tahun ini dia tak mendapat keberuntungan untuk lulus. Ririn tidak lulus, karena nilai fisikanya kurang dari setengah poin dari standar pemerintah. 
Ririn menangis ketika menatap piagam penghargaan-penghargaan saat dia menjuarai lomba-lomba sains yang terpampang di dinding kamarnya. Ingin rasanya dia membakar seluruh piagam dan tropi-tropi yang menjadi miliknya. 
Ririn menangis ketika mengingat dia juga menjuarai olimpiade fisika tingkat propinsi, lalu dikirim ke Jakarta untuk mengkitu lomba tingkat nasional dan mewakili negara untuk mengikuti olimpiade fisika tingkat internasional, dan saat itu dia menjadi juara harapan satu. 
Sekolah tiga tahun tanpa pernah tidak masuk tanpa ijin itupun hanya seperti neraka yang membunuhnya berkali-kali. 
Dia menangis sendiri di dalam kamar. Ditatapnya ijasah yang dikeluarkan pemerintah dengan tulisan TIDAK LULUS yang mengiris jiwanya. 
Dilihatnya cairan anti nyamuk di sudut ruangan …. 



* * * 


Sehari sebelum ujian nasional, kejadian yang mendadak merusak segala konsentrasinya. Kejadian tragis yang memupus segala harapannya. 
“Rin, cepat ganti pakaian, kita ke rumah sakit,” kata ibu Ririn ketika Ririn baru pulang dari sekolah dengan mata yang sembab. 
“Ada apa bu?” 
“Bapak kecelakaan,” ibu menangis. 
Ririn menatap ibu seakan tidak percaya. Ingin rasanya menanyakan sekali lagi, tapi isyarat air mata dari ibu cukup menjawab pertanyaan Ririn yang masih mengendap di hati dengan tuntas. 
Merekapun pergi ke rumah sakit dengan hati yang hancur lebur. 
“Maaf bu, luka bapak teramat parah. Kami tak bisa berbuat banyak. Tuhan telah mengambilnya,” dokter rumah sakit tampak begitu pasrah. 
Ibu dan anak itupun tak mampu membendung air matanya. Mereka segera menghambur pada tubuh yang telah tertutup kain putih di ranjang rumah sakit. 
“Mandor itu terlalu jahat. Dia mendorong bapak dari lantai tiga belas tanpa mau mendengar keterangan bapak,” kata ibu dalam tangisnya. 
Bapak yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja serabutan itu harus menebus nyawanya dengan harga yang sangat tidak pantas. 
Ririn terus menangis. Terlintas-lintas berbagai kenangan yang begitu rapi tersimpan di hatinya. Tak pernah terbayangkan orang yang dihormati itu begitu cepat meninggalkannya. 



* * * 


Memusatkan konsentrasi bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan saat keadaan benar-benar membuatnya terpukul. 
Ujian kelulusan hari ini membuatnya tak bisa penuh dikerjakannya. Segalanya seakan habis dihempas badai kehidupan yang telah memporak-porandakannya. Baru kemarin. 
Selama satu minggu bergelut dengan ujian tak bisa membuat Ririn sepenuhnya mengerjakan soal-soal dengan tenang. Tapi dia tetap berusaha dengan sangat bersungguh-sungguh. Belajar tiap malam, mengulang pelajaran-pelajaran sejak dia duduk di kelas satu SMA hingga kini menginjak kelulusannya. 
Kematian bapak yang begitu tragis. Apalagi bapak tewas karena satu hal, bapak dipanggil ke sekolah untuk menyerahkan data keluarga tidak mampu. Saat itu memang bapak tidak masuk kerja, karena memenuhi panggilan sekolah. Tapi mandor tempat bapak kerja tak pernah mau mendengar keterangan dari bapak. Karena sebab itulah, nyawa harus menjadi upah akibat tidak masuk kerja. Benar-benar hukuman yang tidak adil. Ririn terpuruk. 
Saat pengumuman kelulusan sekolah di gelar. Ririn benar-benar terpukul tiada tara. Dia tidak lulus ujian. 
“Rin, yang tabah ya nak,” kata ibu sehabis mengambil ijasah sekolahnya. 
“Kenapa bu?” Ririn heran 
“Tuhan kembali menguji kamu. Kamu belum lulus,” ibu menghentikan ucapannya karena tangis segera menyeruak. 
Ririn memeluk ibunya dengan sedih yang terluapkan. Tapi ibu hanya berusaha menghibur Ririn, bukan menghibur hatinya. Jantung yang selama ini lemah, semakin melemah sampai akhirnya dia tersungkur menghempas di teras sekolah. Teriakan histeris Ririn memenuhi seluruh sudut sekolah. 



* * * 


Piagam dan tropi-tropi yang didapat Ririn karena prestasinya itu bukanlah sebuah kenangan manis bagi seorang Ririn. Semua itu adalah kenangan pahit yang harus ditelannya. 
Ririn menangis ketika menatap piagam penghargaan-penghargaan saat dia menjuarai lomba-lomba sains yang terpampang di dinding kamarnya. Ingin rasanya dia membakar seluruh piagam dan tropi-tropi yang menjadi miliknya. 
Ririn menangis ketika mengingat dia juga menjuarai olimpiade fisika tingkat propinsi, lalu dikirim ke Jakarta untuk mengkitu lomba tingkat nasional dan mewakili negara untuk mengikuti olimpiade fisika tingkat internasional, dan saat itu dia menjadi juara harapan satu. 
Sekolah tiga tahun tanpa pernah tidak masuk tanpa ijin itupun hanya seperti neraka yang membunuhnya berkali-kali. Pemerintah telah membunuh jiwanya. Mereka tak pernah tahu. Mereka hanya melihat nilai, bukan prestasi. Mereka sombong, mereka jahat. Mereka tak pernah tahu. 
Dia menangis sendiri di dalam kamar. Ditatapnya ijasah yang dikeluarkan pemerintah, bukan dari sekolahnya dengan tulisan TIDAK LULUS yang mengiris jiwanya. 
Dilihatnya cairan anti nyamuk di sudut ruangan.

* * * 

WONOGIRI, Kamis, 20 Juli 2006 09.24 WIB 

Buku-buku Membangun Peradaban di Kamarku

Dalam   Norwegian Wood   terbitan KPG Halaman 45, Haruki Murakami menuliskan, “Kalau kita membaca buku yang sama dengan yang dibaca orang la...