Kahlil Gibran adalah nama yang tak pernah tersebut di desaku pada awal 2000-an. Pun buku-bukunya. Tak pernah terpikirkan siapa dia di desa ini. Di abad 21 permulaan itu aku mendapat kesempatan setiap minggu sekali pergi ke Solo. Selain menyempatkan pergi ke toko kaset, juga aku pergi ke toko buku. Satu-satunya toko buku yang kukenal saat itu di Solo adalah Toko Buku Sekawan. Dan buku yang kubeli adalah karya Kahlil Gibran. Mulai saat itu, buku-buku membangun peradabannya di kamarku.
Di tahun 1997 aku mulai menulis, meski hanya untuk dikonsumsi sendiri. Dan mulai banyak membaca serta membeli buku di tahun 2000-an ketika sudah pulang ke desa di Bulukerto, Wonogiri setelah lulus dari sekolah di Solo. Itulah awal mulainya aku mencintai buku-buku.
Tahun berjalan, buku-buku semakin menambah penduduk baru di kamar. Maka kubelikan rak dari kios di dekat UNS. Setelah mulai jarang ke Solo, aku juga semakin jarang membeli buku. Dan kebetulan aku melihat di sebuah kios di Purwantoro, aku melihat toko buku. Maka minat bukuku kembali lagi. Beberapa buku-buku keagamaan aku membelinya dari kios kecil ini.
Ada niat yang muncul di otakku. Aku tak ingin mengkonsumsi sendiri buku-buku yang mulai kuberi label dan katalog. Pada teman-teman yang mengajar TPA (Taman Pendidikan Alquran), aku menginfokan beberapa buku. Tak semua teman antusias dengan buku-buku, hanya beberapa saja. Dan beberapa teman itu kemudian meminjam buku. Mereka tak mengambilnya di tempatku, tapi aku rela membawa buku kepada mereka. Sejak saat itu Perpustakaan pribadi yang kuberi nama “Pustaka Dan” berdiri. Motto perpustakaan ini adalah “Bila Ilmu Lebih Berharga”. Embrio taman baca ini belum dibuka untuk umum, masih di dalam kamar kecil dan sebagai teman saat sendirian di rumah. Pada era ini, karya puncak Kahlil Gibran, “Sang Nabi” terbeli. Buku fenomenal karya Fauzil Adhim, “Kado Pernikahan untuk Istriku” juga memperbanyak katalog meski saat itu jomblo menjadi status yang kusandang J . Tapi, buku tebal hard cover ini di kemudian hari menjadi buku paling laris dipinjam. Tahu kenapa? Hehe.
Tahun 2005 akhir, aku bergabung dengan FLP (Forum Lingkar Pena) Solo setelah setahun sebelumnya mencari informasi tentang komunitas menulis ini. Dan pelatihan menulis ke Solo seminggu sekali bersama FLP selama 3 bulan kujalani. Dari sini katalog bukuku semakin bertambah karena semakin banyak karya sastra yang kutahu. Kini belanja bukuku beralih ke Gramedia Slamet Riyadi, sebab buku terbaru dan lebih lengkap ada di sini. Setiap minggu aku belanja buku di sini. Ya, setiap minggu, dari hasil kerjaku membuka jasa pengetikan dan desain. Pada tahun-tahun ini, usaha jasa pengetikan meski di desa cukup untuk biayaku belanja buku. Belum banyak warga memiliki komputer, beda dengan saat ini.
Seri “Supernova” Dee cetakan awal kubeli pada tahun-tahun itu. Jauh sebelum semakin booming Supernova yang sekarang. Lima buku tebal seri Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi dalam waktu satu bulan juga mampu mengisi rak buku. Juga buku-buku lain dari berbagai karya penulis, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Seno Gumira Ajidarma, dan juga berbagai karya non fiksi. Sedangkan novel tipis “Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta” karya Luis Sepulveda yang diterbitkan Marjin Kiri adalah buku yang tak sengaja aku beli. Di sebuah minggu di Solo, aku harus membeli buku, karena aku sudah memiliki niat tiap minggu harus beli buku. Tapi di minggu itu, aku tak tahu buku apa yang harus kubeli. Sebab aku merasa sudah membeli buku dari penulis-penulis yang kutahu dari FLP, Ayat-ayat Cinta – Habiburrahman Al Shirazy, Ronggeng Dukuh Paruk – Ahmad Tohari, juga Sang Alkemis – Paulo Coelho sudah kupunya. Tapi di minggu itu aku tak tahu harus beli buku apa. Dan mataku melihat sebuah buku tipis dengan judul yang bagiku menarik, “Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta”, maka tanpa pikir panjang kubeli juga buku itu. Dan ternyata aku menyukai kisah di buku itu.
Aku memastikan buku-buku yang membangun peradaban di kamarku itu adalah satu-satunya buku di desa ini. Paling tidak sebagian. Karena itu aku ingin berbagi bahan bacaan pada siapapun yang mau membaca. Kukabarkan kepada kawan-kawan tentang buku-buku itu. Satu per satu kawan meminjamnya. Tidak banyak memang. Tapi ada rasa bahagia ketika melihat ada yang mau membaca buku. Novel Gajah Mada, Ayat-Ayat Cinta, dan Kado Pernikahan untuk Istriku mulai ada yang membacanya.
Kabar tentang buku-buku ini mulai keluar desa. Ada yang dari luar desa meminjam sebuah buku. Tapi sayangnya, sampai sekarang sudah lebih dari sepuluh tahun, buku yang dipinjam tak pernah kembali. Kecewa? Pasti. Sedih? Tentu. Kejadian ini kemudian mengingatkanku akan pesan Gol A Gong ketika ngobrol FLP Solo bersama beliau di Solo, bahwa ketika kita berniat membuka taman baca, jangan takut buku hilang. Ya sudah, biarkan buku tak kembali, semoga itu bermanfaat baginya.
Gerilya literasi tak hanya sekadar itu yang kulakukan. Bersama kawan-kawan di TPA Arrahman, kami menerbitkan buletin Bil Haq yang terbit setiap bulan. Oplah paling banyak adalah 500 lembar buletin yang masuk ke sekolah-sekolah dan masjid-masjid. Buletin itu disebar oleh kawan-kawan sedesa yang masih sekolah atau kami sebar sendiri. Pernah buletin Bil Haq menerima tulisan dari kontributor dan kami beri honor sebuah buku.
Giat buku ini vakum ketika aku harus ke Solo di tahun 2010 hingga 2015. Pada tahun itu kegiatan literasiku di desa juga berhenti, meski buku bertambah karena ternyata istriku juga mengoleksi buku. Selama tahun itu aku tidak lagi membeli buku. Pada tahun 2013, buku-buku di serang rayap saat aku di Solo. Kerusakan parah diderita novel Supernova: Akar – Dee dan Ayat-ayat Cinta – Habiburrahman Al Shirazy. Beberapa buku lain juga mengalami kerusakan. Ini sangat menyakitkan, melebihi sakitnya buku dipinjam dan tidak kembali.
Kembali ke desa pada tahun 2015, aku kembali bersama buku. Beberapa buku kudisplay di Salo Reri, salon yang dikelola istriku di Kecamatan Puhpelem yang baru didirikannya, agar pelanggan salon setidaknya mengantri sambil membaca buku.
Aku tetap bergerilya membudayakan buku sendirian. Sebuah support datang dari kawan penulis di Solo, Mbak Indah Darmastuti, Tan Malaka juga sendiri, katanya. Ini melecut semangatku untuk terus membumikan buku di desa, meski sendirian. Sendirian juga bisa berjalan kok? Jadi kuputuskan untuk sendirian mulai membangun taman baca.
Ketika aku membaca koran Jawa Pos, aku membaca profil Mas Wahyudi Rumah Baca Sang Petualang bersama Ndok Dadar Pustaka. Pikirku, berarti di Wonogiri ini akses baca bisa dikembangkan, dibuktikan oleh seorang relawan tersebut yang kini desa tempat tinggalnya dikenal sebagai desa literasi. Segera aku cari akun Facebooknya dan ku add. Ternyata permintaan pertemanan di FB di ACC oleh beliau. Jadilah aku mengikuti kegiatannya seperti apa dan niatnya untuk menjadikan Wonogiri sebagai Kabupaten Literasi. Dan akhirnya aku bergabung dengan Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Wonogiri. Dari sini aku sudah tak lagi merasa sendirian. Dan di sini juga Teras Baca Salon Reri dengan tagline “Membaca itu Bahagia” diliput oleh Jawa Pos Radar Solo.
Sejak saat itu, taman baca yang pernah kurintis sejak awal 2000-an, kini menggeliat kembali. Branding perpustakaan pribadi Pustaka Dan kemudian kuubah menjadi Taman Baca Naturalitera, biar tak lagi sebagai perpustakaan pribadi. Tagline pun menjadai “Membudayakan membaca, membumikan buku”, harapannya biar membaca bisa menjadi budaya, setidaknya di desa ini, dan buku bisa diakses dan dijangkau banyak orang, tak lagi menjadi kebutuhan sekunder
Beberapa kawan dari luar daerah kemudian mendonasikan bukunya untuk taman baca ini. Buku-buku donasi dari kawan-kawan dari beberapa daerah datang. Seorang pegawai Perpustakaan Nasional juga pernah mendonasikan puluhan buku-buku. Pun seorang kawan penulis di Solo, Mas Yudi Herwibowo mendonasikan 3 kardus buku untuk taman baca ini. Sebuah penerbit di Sumatera Selatan juga pernah mendonasikan buku-buku terbitannya di taman baca ini. Beberapa buku di Taman Baca Naturalitera juga pernah didonasikan untuk taman baca lain.
Dalam usaha membumikan buku ini tetap saja ada kendala, misalnya kurangnya dana yang mengakibatkan taman baca ini tidak mempunyai rak buku. Jadi buku hanya diletakkan di teras rumah. Kendala lain adalah di desa ini hanya sendirian, tak ada relawan lain sehingga kegiatan-kegiatan dan ide yang mendorong tumbuhnya minat baca tidak bisa dieksekusi.
Buku-buku di Taman Baca Naturalitera memang belum banyak, tapi tetap misi membudayakan membaca dan membumikan buku terus tertanam di hidupku. Bagaimanapun juga pada awalnya, buku-buku telah membangun peradaban mereka dari kamarku.
Untuk kesekian kali taman baca yang kubangun berganti nama. Kini menjadi Taman Baca Fatiha sejak resmi bergabung dengan Forum Taman Baca Masyarakat (FTBM) dan mendapat nomor anggota. Sejak itu beberapa donasi buku beberapa kali datang. Dari Kang Maman Suherman dan dari toko buku Patjarmerah yang secara simbolis dibertikan oleh Raja Mangkunegara X. Terakhir bantuan dari Perpustakaan Nasional dengan seribu judul buku anak lengkap dengan rak buku.
Sampai saat ini buku-buku yang berawal membangun peradaban dari kamar itu sudah terbuka untuk umum. Masih kecil, tapi semoga terus menebar makna.
Dimuat di: https://disarpus.wonogirikab.go.id/buku-buku-membangun-peradaban-di-kamarku/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar