Minggu, 16 Maret 2025

Membaca, Bercerita dan Menjadi Teman Bagi Anak

Membaca Buku di teras baca Salon Reri


Di sebuah sore menjelang senja, Reri – anak kami tiba-tiba bicara tentang aurora. Tapi aurora tersebut tidak bisa dilihat dari sini, katanya. Kami – ayah dan bundanya heran bagaimana anak usia 7 tahun bicara tentang aurora yang dari langit Indonesia tidak bisa dilihat. Aku bertanya darimana dia tahu tentang aurora. Reri menjawab, “Dari membaca buku.”

Membaca, adalah kuncinya. Kami bangga dengan pengetahuan yang dia tahu. Aku sebagai ayahnya memang tidak memaksa dia membaca buku. Tapi aku sering memperlihatkan padanya ketika sedang membaca buku. Meski sesekali bicara dan menyarankan dia membaca buku, tapi tentu tanpa memaksanya. Namun Reri selalu bilang, nggak suka membaca. Ia ingin bercita-cita menjadi pelukis.

Dalam hal membaca buku, Reri dengan terang bilang bahwa ia tidak suka membaca buku, akan tetapi karena di rumah banyak buku, ia kadang “tercyduk” sedang membaca buku. Beberapa waktu lalu ia minta untuk berpuasa sunnah Senin – Kamis. Ketika aku tanya darimana niatnya itu datang, ia menjawab dari buku Seri Adab Anak Islam “30 Cerita Islami Terpopuler Sepanjang Masa” karya Deasylawati dan Ungu Lianza. Akhirnya ia memulai puasa sunnahnya yang pertama kali.

Aku tidak memaksa ia membaca buku. Tapi di rumah, telah kusediakan banyak buku yang aman dan baik dibaca siapa saja, termasuk anak kami. Aku tidak melarang dia bilang bahwa ia tidak suka membaca buku, hanya karena ia sering melihat buku di rumah, akhirnya ia mau membaca buku. Dan dampaknya, wawasannya bertambah, ia tahu tentang aurora, tentang migrasi burung, kisah-kisah nabi dan ia juga bisa memulai puasa sunnah Senin – Kamis.

Aku juga membiarkan dia untuk berekspresi tentang apa yang diimajinasikannya. Aku selalu menuruti keinginannya ketika akan beranjak tidur malam selalu ingin dibacakan cerita. Buku tebal kisah 1001 malam, pernah kubacakan meski belum tamat. Beberapa kisah nabi dan cerita rakyat sudah dia tahu.

Ketika masa kanak-kanakku selalu dilarang untuk mengekspresikan keingintahuan, aku malah membebaskan Reri dengan segenap rasa penasarannya. Ketika masa kecilku disuruh diam ketika bertanya apa yang tak kutahu, aku berusaha mendengar dan mencari jawaban apa yang ditanyakan Reri. Ketika marah dan sikap kasar yang kuingat pada masa kanak-kanakku, aku memberikan kelembutan dan pelukan bagi Reri. Reri sering bertanya hal-hal yang di luar pikiran kami. Misal tentang bagaimana terciptanya pelangi, asal usul Allah dan kenapa Allah memberi masalah pada makhluk-Nya jika Allah Maha Baik? Pertanyaan-pertanyaan itu lepas dari prediksi kami bisa keluar dari pikiran Reri di usia 8 tahun. Tapi bagaimanapun harus kami cari jawabannya. Jika kami tidak bisa menjawab saat itu juga, kami memberi alasan pertanyaan itu dijadikan PR oleh kami.

Kami sebagai orang tua dari seorang anak memberi ruang yang luas untuknya bertanya, berbicara, mengkritik, berdiskusi dan bercanda bersama kami. Namun selali kami batasi dengan adab dan akhlak yang baik agar masih tercipta akal untuk menghormati dan menyayangi diantara kami.

Sering dari Reri kami banyak belajar bagaimana seharusnya memperlakukan dia. Sebab di saat aku seusia dia, ruang untuk mengungkapkan pendapat dan sejenisnya adalah tabu. Jika nekat mengatakan yang ingin kukatakan, maka bentakan dan kemarahan yang harus aku terima. Dan hatiku menciut. Aku tak ingin apa yang kualami di masa kecil dialami Reri. Jika aku tumbuh penuh ketakutan, aku ingin Reri tumbuh dengan berani dan bahagia dengan banyak kasih sayang, pelukan dan ruang untuknya berekspresi.

Putri Diana pernah berkata, “Sebuah pelukan bisa memberi banyak manfaat, terutama pada anak-anak.” Kami memberikan banyak pelukan untuk Reri daripada memarahi dan membuatnya merasa bersalah. Kami tak ingin Reri tumbuh dipenuhi rasa bersalah dan takut. Kami menghargai segala usaha yang dilakukan Reri. Meski di bidang akademik di sekolah, Reri belum pernah ranking 1, tapi kami selalu memberikan dia pelukan. Sebagai wujud penghargaan atas usahanya dalam belajar.

Ada yang menganggap sikap kami ini adalah sikap yang memanjakan Reri, kami tidak merasa begitu. Kami juga tak selalu mengabulkan apa yang diminta Reri dan memberitahunya bahwa apa yang kita pinta tak selamanya selalu terpenuhi. Aku hanya berkaca pada pengalaman masa kecilku bahwa sikap kasar, pukulan dan kemarahan yang paling aku ingat sampai sekarang. Dan itu membuatku selalu berpikir negatif dan penuh prasangka serta dendam. Aku tak ingin Reri mengalami perasaan serupa. Kami ingin Reri yang kini usianya menjelang 9 tahun memenuhi masa kanak-kanaknya dengan bahagia. Kami tidak tahu takdirnya di masa depan, tapi setidaknya bekal bahagia di saat sekarang menjadi modal sikap optimis Reri saat dewasa kelak.

Aku tak paham ilmu tentang parenting, aku hanya bercermin dari masa kecilku untuk mendidik Reri di saat sekarang. Membiarkan Reri dengan imajinasi dan mengeksplore banyak hal, tanpa memaksa dia sesuai keinginan kami, orang tuanya. Kata Khaled Hosseini, “Anak-anak bukanlah buku mewarnai. Anda tak dapat mewarnai mereka sesuka hati anda.”

Setiap manusia tentu memiliki jalan hidup masing-masing, tak terkecuali anak-anak. Meskipun anak-anak tersebut adalah anak kita, namun tidak berarti kita yang menentukan jalan hidup mereka. Cara terbaik dalam mendidik mereka bertumbuh adalah dengan membebaskan mereka menentukan jalan hidupnya masing-masing.

Aku tidak menganggap cara kami mendidik Reri adalah yang terbaik. Aku hanya merasa cara kami mendidiknya adalah yang paling pas untuk perkembangan Reri. Kami mendengar perasaan Reri hanya karena di saat aku seusia Reri, berbicara dan mengungkapkan keinginan hati adalah hal terlarang. Mungkin ini masalah zaman. Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian”.

Zaman sekarang disesaki dengan teknologi, tentu berbeda dengan masa lalu yang tak ada media sosial dan gawai seperti yang ada sekarang. Informasi saat ini sangat mudah diakses siapapun, termasuk anak-anak. Karenanya menemani mereka dan mengarahkan mereka kami rasa lebih baik daripada melarang dan memarahi mereka, sebab dengan melarang anak-anak dengan mematahkan rasa keingintahuan mereka malah akan membebani pikiran anak-anak.

Orang tua harus bisa menjadi teman bagi anak-anaknya. Orang tua yang ingin ditakuti anak-anaknya justru akan menjadikan anak melakukan hal-hal yang tidak baik secara diam-diam. Mereka enggan untuk berbagi hal yang dihadapinya dengan orang tua. Mereka akan lebih nyaman berbagi dengan teman-temannya. Jika teman-temannya baik, tidak menjadi masalah. Sebaliknya jika teman-temannya memberi solusi yang justru menjerumuskan mereka pada perbuatan yang tidak baik, ini yang akan menggurita menambah masalah baru.

Orang tua yang bisa berperan menjadi teman bagi anaknya akan membuat anak merasa aman dan nyaman berbagi masalah kepada orang tuanya. Beberapa kali Reri menceritakan kepada kami pengalaman-pengalamannya di sekolah, yang kadang lucu, membuat kami haru dan bangga.

Seringkali Reri enggan membuang sampah di sembarang tempat. Sampah yang sebenarnya harus dibuang dia simpan dahulu, jika ketemu tempat sampah, baru sampah itu dibuang. Atau jika terpaksa harus membuang sampah bukan pada tempatnya karena sampah itu basah dan akan membuat kotor sakunya, ia pasti akan mengucap Basmalah dan memohon ampun pada Tuhan karena membuang sampah sembarangan, dan sampah itu diletakkan dengan pelan. Kami belum mengajari dia membuang sampah harus pada tempat sampah, tapi dia sudah melakukannya.

Jika sudah begini, nilai akademiknya sudah dia kalahkan dengan adab dan akhlak baik yang dia miliki. Sebab dengan membaca, bercerita dan menjadi teman bagi anak akan membuat anak merasa aman dan nyaman.

***

Kini Reri sudah menginjak remaja, ia sudah menjadi siswi SMP. Apa yang menjadi kebiasaan beberapa tahun lalu Ketika SD ada yang sudah berubah.


Dimuat di: https://disarpus.wonogirikab.go.id/membaca-bercerita-dan-menjadi-teman-bagi-anak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buku-buku Membangun Peradaban di Kamarku

Dalam   Norwegian Wood   terbitan KPG Halaman 45, Haruki Murakami menuliskan, “Kalau kita membaca buku yang sama dengan yang dibaca orang la...