Mulai awal tahun 2006, aku selalu menyempatkan main ke Gramedia Solo dengan target tiap minggu harus beli buku. Biasanya sejak dari rumah, aku sudah merencanakan buku apa yang akan kubeli. Namun beberapa kali, aku tidak ada bayangan buku yang ada dibenak, tapi harus beli buku. Dan jika sudah begitu, selalu berkeliling di toko buku besar itu sambil memilih buku yang kuanggap cocok dan pas harganya sesuai isi dompet.
Pada Juli 2006. Berita-berita di koran dan TV mengabarkan bahwa sastrawan nominator nobel Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia. Setelah itu buku karya Pram, sebuah biografi berjudul “Panggil Aku Kartini Saja” banyak diberitakan. Aku terpengaruh untuk membelinya. Maka, pada tanggal 27 Agustus 2006, aku membeli buku ini di Gramedia Solo.
Di buku setebal 304 halaman ini, Pram menulis R.A Kartini sebagai sosok yang tangguh, yang sendirian mendobrak tatanan kasta. Kartini yang seorang perempuan melawan kekuasaan penjajah Belanda, mendobrak dinding tebal kabupaten, berteriak dalam kesepian dalam pingitan, dan melawan semua tekanan sistem feodalisme di Jawa.
Pada halaman 93 buku tersebut, Pram menulis, sudah sejak awal orang mengenal Kartini bersikap pada lingkungan, terhadap tata hidup feodal. Ia lebih bersimpati pada rakyat jelata dan penderitaannya. Kepada kaum feodal, Kartini memproklamasikan bahwa makin tinggi kebangsawanan seseorang, makin berat tugas dan kewajibannya terhadap rakyat. Ini berarti Kartini ingin menyembuhkan tata hidup “feodalisme pribumi yang sakit” dan mengembalikan tugasnya seperti pada zaman sebelum jatuhnya Majapahit. Bila kebangsawanan itu tidak sanggup memikul tugas dan kewajiban itu, dia pun tidak berarti sesuatu pun, dan hanya merupakan beban belaka bagi masyarakat.
Pada buku biografi R.A. Kartini ini, Pramoedya Ananta Toer menggambarkan sosok Kartini dengan penuh daya pesona yang mampu membuat perbedaan dengan pengenalan serta penafsiran atas diri Kartini yang pernah ada.
Dari buku biografi Kartini, aku kemudian penasaran dengan karya lain sosok sastrawan ini. Sebulan kemudian pada 24 September 2006 di toko buku yang sama, saat itu, aku tertarik dengan judul dan desain cover yang klasik juga karya Pramoedya Ananta Toer. Aku ambil dan membayarnya di Kasir, sebuah novel “Midah, Simanis Bergigi Emas”.
Mengenal Pramoedya Ananta Toer dari novel Midah, Simanis Bergigi Emas. Karya sederhana, namun sebenarnya mengkritisi kehidupan pada masa itu, pada setting kisah di tahun 1950-an. Tentang perjalanan seorang gadis dari keluarga yang relijius dan terpandang, namun karena sebuah tekanan dan ketidakadilan di dalam rumah yang menjajah nuraninya, ia berkembang menjadi gadis yang berbeda, berani pergi dari rumah dan tenggelam di jalanan Jakarta yang terkenal ganas pada tahun itu. Ia tidak menyerah pada kehidupan yang dipilihnya, menjadi seorang penyanyi jalanan yang kemudian dikenal dengan sebutan “si manis bergigi emas”. Dalam keadaan hamil, ia terus bertarung dengan kehidupan dan moral yang keras. Kisah ini aku baca hingga dua kali sambil belajar menulis dari novel setebal 134 halaman ini.
“Bersama Mas Pram”, sebuah memoar tentang Pram yang ditulis oleh dua adiknya, Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer. Buku ini aku beli di sebuah toko buku di sebuah kota di Jawa Timur pada 31 Januari 2017. Aku tertarik dengan harga yang ditawarkan, seharga buku obral di toko buku besar. Hanya 25.000 untuk buku setebal 504 halaman itu. Sesampainya di rumah ketika kubuka segel. Jilid bagian punggung buku tidak rata. Isi buku menggunakan kertas buram, foto-foto tidak jelas, banyak noda tinta. Baru aku sadar bahwa ternyata buku itu bajakan. Menyesal aku membelinya, sebab baru kali itu aku tahu wujud buku bajakan.
Tapi tetap saja aku baca.
Kisah perjalanan Pram melalui adiknya. Ia ternyata seorang pekerja keras. Menyekolahkan adik-adiknya setelah bapaknya yang seorang guru – kini disebut PNS – tiada. Pram yang seorang jurnalis mendidik adik-adiknya dengan keras hingga entah mengapa tiba-tiba dituduh sebagai salah satu bagian dari PKI pada 1965 karena menjadi anggota Lekra (Padahal, seperti dalam novel Tjap, karya Yuditeha, Lekra adalah organisasi tersendiri). Pram ditangkap. Juga adik-adiknya. Hidup Pram hampir sebagian besar dihabiskan dalam penjara
Pada memoar tentang Pram ini, ditulis sejak masa kecil Pram di Blora, kemudian di Semarang, Jakarta hingga pada tahun-tahun yang panjang sebagai tahanan politik di Pulau Buru, sampai dibebaskan dan meninggal dunia. Dari tahanan di Pulau Buru, geliat kepenulisan Pram tidaklah habis. Dari memoar ini, kita akan mengenal sosok Pramoedya lebih dalam dan membaca pikiran-pikiran Pram yang menjadi ketakutan pemerintah saat itu. Sayangnya, ini buku bajakan. Jangan beli buku bajakan, ya?
Buku Pram selanjutnya yang aku beli adalah “Cerita Calon Arang” sebuah dongeng klasik Indonesia yang kembali ditulis Pramoedya dengan gayanya. Buku ini kubeli di Toko Buku Diomedia Solo. Cerita Calon Arang gubahan Pramoedya Ananta Toer ini pernah diterbitkan di Spanyol dengan judul “ El Rei, La Bruixa I El Sacerdot” dan di Singapura dengan judul “The King, The Witch and The Priest”.
Aku semakin menyukai karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Apalagi di sebuah sekolah tempatku bekerja membeli buku-buku, salah satunya beberapa karya Pramoedya Ananta Toer. Diantaranya: “Jejak Langkah”, “Medan Prijaji”, “Sang Pemula”, “Gadis Pantai”, dan “Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (Catatan Pulau Buru)”. Semua buku tersebut aku pinjam dan kubaca.
Pertama kubaca adalah Jejak Langkah. Salah satu tetralogi Pulau Buru. Kemudian Medan Prijaji, sebuah roman tentang jurnalis perintis media pertama di Indonesia. Lalu, Gadis Pantai, sebuah novel kritik sosial akan tidak manusiawinya para priyayi pada rakyat biasa. Kemudian Sang Pemula, sebuah naskah semacam biografi dari R.M. Tirto Adhi Soerjo, yang oleh pemerintah cukup dianugerahi jasa sebagai Perintis Pers Indonesia, bukan sebagai Pahlawan Kemerdekaan. Buku ini sebenarnya sangat bagus jika bukan bajakan, sebab foto-foto yang dimuat akan lebih jelas, tidak seperti buku bajakan yang foto-fotonya tidak jelas.
Terakhir kubaca Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Kisah-kisah yang jarang bahkan tidak dimunculkan dalam sejarah bangsa saat penjajahan Belanda dan Jepang. Kita jadi tahu derita tersembunyi dari perjuangan bangsa dalam memperoleh kemerdekaan.
Tentu masih ada karya Pramoedya yang lain yang fenomenal, seperti Bumi Manusia yang sempat dijadikan film, pun Anak Semua Bangsa.
Jika seandainya ada yang menyebutkan kalau belum membaca Bumi Manusia maka belum membaca Pram. Aku akui, aku mengenal Pram memang bukan dari Bumi Manusia, pun belum membaca novel bagus tersebut. Aku membaca Pram, karena membaca nurani kemanusiaan.
100 Tahun Pram tahun ini, buku Tetralogi Pulau Buru kembali terbit. Karya-karya Pramoedya tetap abadi. Seperti kalimat yang pernah diucapkannya, “Menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah”.
Dimuat di: https://disarpus.wonogirikab.go.id/100-tahun-pramoedya-ananta-toer-membaca-pram-membaca-nurani/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar