Dimuat di Jawa Pos Radar Banyuwangi, 30 September 2023 |
Kemudian
aku merasa sebaiknya melantunkan sholawat. Kuputuskan melantunkan sholawat
Tibbil Qulub. Tiga kali kuhitung aku melantunkan sholawat Tibbil Qulub, tapi
tak ada warga yang datang ke masjid. Akhirnya kuputuskan untuk iqamah dan
shalat dhuhur sendirian di masjid ini.
“Ke
sawah, Pak?” tanyaku berbasa basi selepas keluar masjid kulihat seorang lewat.
“Iya,
Mas. Masjid sepi hari ini. Banyak warga ke balai desa,” jawab bapak itu.
Aku
baru pindah ke desa ini dan belum mengurus surat pindah, aku baru tahu kalau hari ini ada pemilihan kepala desa
***
Sebelum pindah ke desa ini, aku ikut sebuah
demonstrasi gara-gara isu bahwa sebuah masjid besar akan dihancurkan oleh
pemerintah. Kawanku yang mendadak berperilaku tampak relijius mengajakku
berunjuk rasa menolak penghancuran masjid oleh pemerintah. Katanya umat seluruh
negeri akan tumpah ruah ke kota demi menolak penghancuran rumah ibadah ini.
Ia
mengobarkan api dalam darahku dengan kalimat-kalimat memotivasi yang hebat
membuatku terpengaruh. Atas nama agama, jiwa kami menggelegak. Ada iming-iming
upah pada setiap anggota yang ikut. Makin tertariklah kami untuk bergabung.
Namun
demonstrasi berlangsung ricuh. Semangat yang berkobar untuk menentang
pemerintah beradu dengan para petugas keamanan di tengah terik matahari. Emosi
meluap menghujat pemerintah dari seorang di atas panggung yang membawa pengeras
suara. Api menyala dari sebuah ban bekas.
Mulanya
saling dorong antara massa dan petugas. Sampai akhirnya bentrokan antara
demonstran dengan petugas keamanan terjadi. Saling lempar batu, bom mototov dan
sebagainya. Berbalas dengan semprotan air dan gas air mata dari petugas. Suara
letupan senjata seringkali terdengar. Demonstran terdesak dan kocar kacir. Aku
lari tunggang langgang setelah kepalaku terkena pentungan, tapi aku sempat
membalas dengan tinjuku dan membuat wajah salah satu petugas keamanan berdarah.
Dalam pelarian menghindari serangan petugas, aku menemukan gang sempit yang
bisa menyembunyikan badanku.
Tak
ada upah yang dijanjikan. Pun tak ada makan siang yang juga sudah dijanjikan.
Hanya peluh mengucur, luka di kepala serta perut yang lapar menghajarku. Sampai
pada akhirnya aku pulang sendirian setelah merasa keadaan sudah aman. Aku
menyesal tidak memperhatikan nasehat ibu yang sedang sakit di rumah.
“Perbanyak
sholawat, Nak. Biar hatimu teduh. Agar amarahmu reda. Pikir dulu lebih dalam
ajakan temanmu itu. Enam tahun kamu mondok tentu banyak ilmu yang kamu dapat.”
Begitulah nasehat ibu.
“Tidak,
Bu. Masjid akan diratakan itu sebuah kebijakan yang jahat. Aku harus menolak,”
tandasku.
“Istighfar,
Nak. Sholawatlah pada Nabi Muhammad.”
“Tapi,
Bu?”
“Orang
bakhil adalah orang yang ketika mendengar nama Nabi Muhammad disebut, ia tak
bersholawat,” lanjut ibu.
Aku
terhenyak, dan seketika bersholawat. Namun aku tetap pada keyakinanku untuk
mengikuti ajakan temanku. Hatiku sudah terbakar habis.
“Sholawat
adalah cinta. Kalau bukan karena cinta, masihkah disebut namanya setiap hari?”
Tapi
efek dari demonstrasi yang ricuh itu adalah ternyata namaku sudah dalam pengawasan
petugas keamanan. Juga nama-nama demonstran yang lain.
Dalam
kamar, aku berpikir usaha apa yang akan kulakukan, setelah pemerintah kurasa
mempersempit gerakku mencari nafkah untuk keluarga. Kulihat rak buku di kamar
penuh. Ide langsung muncul untuk menjual buku-buku yang kupunya menggunakan
gerobak di depan pasar.
Satu
dua orang datang untuk membaca-baca buku. Itu membuatku semakin bersemangat.
Sesekali sambil menerangkan isi buku yang dipegang seseorang yang mendekat.
Sampai
kemudian dua orang bertubuh tinggi besar datang. Seorang mengambil buku
berwarna merah berjudul “Aksi Massa” yang ditulis Tan Malaka. Kuterangkan
isinya dan kujelaskan pula siapa Tan Malaka. Lalu seorang lagi mengambil buku
“Negeri Para Bedebah” novelnya Tere Liye dan buku lain yang berjudul “Corat-Coret
di Toilet” penulisnya Eka Kurniawan. Dan inilah yang menjadi celah untuk
hidupku lebih berlobang.
Ternyata
dua orang tersebut adalah petugas keamanan dan memata-mataiku. Aku dituduh
tidak setia pada negara karena menyimpan bahkan menjual buku-buku terlarang.
Aku membantah tuduhan itu, tetap
aku dibawa juga ke kantor mereka dan gerobak
juga buku disita.
Aku diinterogasi
bermacam-macam. Kembali aku kecewa, mereka
tidak peduli bahwa aku butuh uang untuk membeli obat
bagi ibu. Aku marah dan berjanji akan kembali mengambil gerobak warisan bapak,
apapun yang terjadi. Ibu menangis mendengar ceritaku setelah sampai di rumah.
“Turunkan
amarahmu dengan sholawat. Dikasari bagaimanapun juga, Rasulullah tetap sabar
dan pemaaf,” kata ibu pelan.
“Kau
pernah dengar seorang Yahudi yang matanya buta memaki-maki Rasul dengan amat
kasar, tapi Rasul tetap dengan lembut menyuapinya makan?” tanya ibu.
Aku
diam, gigiku gemeretak.
“Tiap
hari orang Yahudi itu menghina Rasul. Tapi Rasul tetap dengan lembut menyuapinya.
Sampai akhirnya, Rasulullah wafat. Abu Bakar menggantikan Rasul menyuapi orang
tersebut. Abu Bakar sebenarnya marah mendengar makian tersebut, tapi beliau menahan
amarah ketika dia menghina Rasul dengan amat kasar. Kemudian orang Yahudi itu sadar
bahwa yang menyuapi tersebut berbeda dengan orang yang kemarin menyuapinya,
sebab orang yang menyuapi sebelumnya lebih lembut. Abu Bakar bilang yang biasa
menyuapinya adalah yang dia hina dan dia maki. Seketika Yahudi tersebut
menangis,” lanjut ibu.
Hatiku
bergetar mendengar cerita ibu. Adakah orang selembut dan sesabar Rasulullah?
Malam
pekat, dengan membawa bahan bakar yang kuambil dari tangki motor, aku pergi ke
kantor petugas keamanan. Aku ingin merencanakan aksi nekat seperti dalam buku
“Dalam Kobaran Api”, membakar diri dan memicu aksi rakyat seluru negeri untuk
menolak ketidakadilan. Kalau kupikir, apa yang kualami ini seperti dalam novel
karya Tahar Ben Jelloun, penulis Maroko itu.
Sesampai
di kantor petugas keamanan, aku menghampiri seorang petugas yang berjaga.
Baik-baik aku meminta gerobakku kembali karena besok akan kugunakan lagi
berjualan. Tapi dia tersenyum menyeringai dan memukul lenganku dengan kasar
sambil mengusirku pergi.
Aku
pergi mendekat ke gerobak yang di parkir di halaman. Kutatap petugas tadi dari
kejauhan yang terlihat sudah memejamkan mata. Kusiramkan bahan bakar ke seluruh
tubuhku sambil mengumpat dan berjanji aksi nekatku akan berakhir sama dengan
novel yang sudah kubaca. Aksi seluruh rakyat akan menghentikan kedholiman
pemerintah setelah mendengar aksi bakar diriku.
Tapi
seketika wajah teduh ibu membayang di depan mataku. Lengkap dengan nasehatnya
untuk memperbanyak sholawat. Layar lain terlihat ibu bercerita betapa sabarnya
Rasulullah dalam menghadapi orang-orang yang membencinya. Kenangan lain datang
dari para guruku yang tak sekalipun mengajarkan kebencian, yang selalu
mengingatkan untuk tetap bersikap tawadhu’.
Korek
api yang siap menyala akhirnya kubuang. Hanya tubuhku basah kuyup beraroma
bensin. Aksiku berakhir antiklimaks. Wajah-wajah orang yang menyayangiku
memenangkan pertarungan melawan amarahku.
***
Setelah
pulang dari masjid, aku menuju perpustakaan pribadiku dan mengambil novel
Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari. Novel tentang korupsi ini pernah kubaca.
Siang ini aku iseng ingin membacanya lagi. Kubuka acak halaman, kebetulan
terbuka halaman dengan kejadian saat Kabul berdiskusi dengan Basar dan Pak
Tarya tentang tujuan Nabi Muhammad diutus. Disebutkan dalam diskusi bahwa,
“Tidak diutus Nabi Muhammad kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia.” Kata
kecuali dalam kalimat itu menjadi diskusi yang panjang.
Di
ruang perpustakaan pribadiku, aku membaca sholawat Nariyah. Dan seperti
hari-hari yang lalu, kesejukan yang entah datang darimana itu, menyambutku.
Kemarau panjang ini membawa udara yang gerah meski di malam hari di desa. Tapi
kesejukan ini terasa berbeda. Shollu alaihi. Kesejukan kembali menyapa.
Selepas
sholat Maghrib di masjid,
beberapa orang ngobrol tentang
pemilihan kepala desa. Kata mereka, petahana kalah.
Malam
hari ada keramaian di rumah salah seorang tokoh desa yang kebetulan masih
bertetangga denganku. Aku keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Dari
kabar yang beredar di antara orang-orang yang berkerumun, tokoh tersebut baru
dipulangkan setelah diculik tadi siang oleh seorang wakil rakyat daerah.
Kulihat
mobil polisi diparkir di depan rumah tokoh tersebut. Aku mendekat di teras
rumah. Mendengar pemilik rumah bercerita tentang kejadian yang menimpanya.
Peristiwa
berawal dari beberapa waktu sebelum pemilihan kepala desa, tokoh itu didatangi oleh wakil rakyat. Maksud
kedatangannya meminta tokoh desa
mendukung kepala desa petahana, dengan cara menjadi tim sukses. Tokoh desa menyetujui, karena ada
perasaan segan dan khawatir akan keselamatan keluarganya, sebab wakil rakyat memintanya
dengan ancaman.
Ketika
pemilihan desa berlangsung dan hasil tak berpihak pada petahana, wakil rakyat kembali datang
ke rumah tokoh itu. Mengintimidasinya
di dalam mobil, wajahnya diludahi oleh orang terhormat tersebut. Setelahnya
sebuah pukulan dari tangannya yang besar menghantam wajahnya hingga salah satu
gigi tanggal. Darah mengucur dari mulutnya.
***
Aku
didatangi teman-temanku dulu yang ikut demo. Kali ini ia kembali mengajakku
untuk demo karena menilai seorang telah menghina agama. Ia bersemangat
menceritakan kronologis sehingga ia terbakar emosi, apalagi sang pimpinan demo
mengklaim bahwa demo ini adalah demo untuk berjihad. Sesaat hatiku bergejolak.
Sambil mengepalkan tangan, temanku memberi semangat keras sekali. Kuikuti
dengan kepalan tangan serupa.
Masih dalam kepalan tangan, kuingat
ucapan ibu yang membuat hatiku merasa lapang, “Perbanyak sholawat, Nak. Agar
hatimu teduh.”
Angin sejuk berhembus. Kulihat mata
temanku yang menyala mulai meredup setelah sambil tersenyum kuulang kata-kata
ibu. Shollu ‘ala Muhammad.
Tentang
Penulis
Danang
Febriansyah, alumni Pondok Pesantren Al Muayyad Surakarta dan alumni
#KampusFiksi 13 Yogyakarta. Dari Sastra Alit Surakarta belajar lebih banyak
karya sastra. Dari FLP Solo tahu bahwa menulis adalah mencerahkan.
Pernah
menulis cerpen, puisi, resensi buku dan dimuat di berbagai media, Solopos,
Joglosemar, Jawa Pos Radar Mojokerto, Koran Muria, Merah Putih Pos, Koran
Pantura, Simalaba.net, Floressastra.com, Cendananews.com, magrib.id, dan lain
sebagainya.
Pernah
membukukan tulisannya dalam antologi dan buku tunggal berupa cerpen, memoar dan
puisi diterbitkan oleh penerbit Elex Media, nulisbuku.com, Taman Budaya Jawa
Tengah, Diomedia. Novelnya “Arundaya: di Masjid Kutemukan Cintaku” diterbitkan
Penerbit Diomedia 2019. Novel “Arundaya” kemudian dialihbahasakan ke dalam
Bahasa Jawa, dan terbit pada Oktober 2021.
Tinggal
di Bulukerto, Wonogiri sambil membuka perpustakaan nirlaba “Fatiha” dan
tergabung dalam Forum Taman Baca Masyarakat Kab. Wonogiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar