Minggu, 08 Oktober 2023

Kalau Bukan Karena Cinta, Masihkah Disebut Namanya Setiap Saat?

 

Dimuat di Jawa Pos Radar Banyuwangi, 30 September 2023

                  Masjid masih sepi. Aku menunggu beberapa saat, siapa tahu warga yang biasa adzan segera datang. Karena tidak ada yang datang, maka terpaksa aku menjadi muadzin.

            Kemudian aku merasa sebaiknya melantunkan sholawat. Kuputuskan melantunkan sholawat Tibbil Qulub. Tiga kali kuhitung aku melantunkan sholawat Tibbil Qulub, tapi tak ada warga yang datang ke masjid. Akhirnya kuputuskan untuk iqamah dan shalat dhuhur sendirian di masjid ini.

“Ke sawah, Pak?” tanyaku berbasa basi selepas keluar masjid kulihat seorang lewat.

“Iya, Mas. Masjid sepi hari ini. Banyak warga ke balai desa,” jawab bapak itu.

Aku baru pindah ke desa ini dan belum mengurus surat pindah, aku baru tahu kalau hari ini ada pemilihan kepala desa

 

***

 

Sebelum pindah ke desa ini, aku ikut sebuah demonstrasi gara-gara isu bahwa sebuah masjid besar akan dihancurkan oleh pemerintah. Kawanku yang mendadak berperilaku tampak relijius mengajakku berunjuk rasa menolak penghancuran masjid oleh pemerintah. Katanya umat seluruh negeri akan tumpah ruah ke kota demi menolak penghancuran rumah ibadah ini.

Ia mengobarkan api dalam darahku dengan kalimat-kalimat memotivasi yang hebat membuatku terpengaruh. Atas nama agama, jiwa kami menggelegak. Ada iming-iming upah pada setiap anggota yang ikut. Makin tertariklah kami untuk bergabung.

Namun demonstrasi berlangsung ricuh. Semangat yang berkobar untuk menentang pemerintah beradu dengan para petugas keamanan di tengah terik matahari. Emosi meluap menghujat pemerintah dari seorang di atas panggung yang membawa pengeras suara. Api menyala dari sebuah ban bekas.

Mulanya saling dorong antara massa dan petugas. Sampai akhirnya bentrokan antara demonstran dengan petugas keamanan terjadi. Saling lempar batu, bom mototov dan sebagainya. Berbalas dengan semprotan air dan gas air mata dari petugas. Suara letupan senjata seringkali terdengar. Demonstran terdesak dan kocar kacir. Aku lari tunggang langgang setelah kepalaku terkena pentungan, tapi aku sempat membalas dengan tinjuku dan membuat wajah salah satu petugas keamanan berdarah. Dalam pelarian menghindari serangan petugas, aku menemukan gang sempit yang bisa menyembunyikan badanku.

Tak ada upah yang dijanjikan. Pun tak ada makan siang yang juga sudah dijanjikan. Hanya peluh mengucur, luka di kepala serta perut yang lapar menghajarku. Sampai pada akhirnya aku pulang sendirian setelah merasa keadaan sudah aman. Aku menyesal tidak memperhatikan nasehat ibu yang sedang sakit di rumah.

“Perbanyak sholawat, Nak. Biar hatimu teduh. Agar amarahmu reda. Pikir dulu lebih dalam ajakan temanmu itu. Enam tahun kamu mondok tentu banyak ilmu yang kamu dapat.” Begitulah nasehat ibu.

“Tidak, Bu. Masjid akan diratakan itu sebuah kebijakan yang jahat. Aku harus menolak,” tandasku.

“Istighfar, Nak. Sholawatlah pada Nabi Muhammad.”

“Tapi, Bu?”

“Orang bakhil adalah orang yang ketika mendengar nama Nabi Muhammad disebut, ia tak bersholawat,” lanjut ibu.

Aku terhenyak, dan seketika bersholawat. Namun aku tetap pada keyakinanku untuk mengikuti ajakan temanku. Hatiku sudah terbakar habis.

“Sholawat adalah cinta. Kalau bukan karena cinta, masihkah disebut namanya setiap hari?”

Tapi efek dari demonstrasi yang ricuh itu adalah ternyata namaku sudah dalam pengawasan petugas keamanan. Juga nama-nama demonstran yang lain.

Dalam kamar, aku berpikir usaha apa yang akan kulakukan, setelah pemerintah kurasa mempersempit gerakku mencari nafkah untuk keluarga. Kulihat rak buku di kamar penuh. Ide langsung muncul untuk menjual buku-buku yang kupunya menggunakan gerobak di depan pasar.

Satu dua orang datang untuk membaca-baca buku. Itu membuatku semakin bersemangat. Sesekali sambil menerangkan isi buku yang dipegang seseorang yang mendekat.

Sampai kemudian dua orang bertubuh tinggi besar datang. Seorang mengambil buku berwarna merah berjudul “Aksi Massa” yang ditulis Tan Malaka. Kuterangkan isinya dan kujelaskan pula siapa Tan Malaka. Lalu seorang lagi mengambil buku “Negeri Para Bedebah” novelnya Tere Liye dan buku lain yang berjudul “Corat-Coret di Toilet” penulisnya Eka Kurniawan. Dan inilah yang menjadi celah untuk hidupku lebih berlobang.

Ternyata dua orang tersebut adalah petugas keamanan dan memata-mataiku. Aku dituduh tidak setia pada negara karena menyimpan bahkan menjual buku-buku terlarang. Aku membantah tuduhan itu, tetap aku dibawa juga ke kantor mereka dan gerobak juga buku disita.

Aku diinterogasi bermacam-macam. Kembali aku kecewa, mereka tidak peduli bahwa aku butuh uang untuk membeli obat bagi ibu. Aku marah dan berjanji akan kembali mengambil gerobak warisan bapak, apapun yang terjadi. Ibu menangis mendengar ceritaku setelah sampai di rumah.

“Turunkan amarahmu dengan sholawat. Dikasari bagaimanapun juga, Rasulullah tetap sabar dan pemaaf,” kata ibu pelan. “Kau pernah dengar seorang Yahudi yang matanya buta memaki-maki Rasul dengan amat kasar, tapi Rasul tetap dengan lembut menyuapinya makan?” tanya ibu.

Aku diam, gigiku gemeretak.

“Tiap hari orang Yahudi itu menghina Rasul. Tapi Rasul tetap dengan lembut menyuapinya. Sampai akhirnya, Rasulullah wafat. Abu Bakar menggantikan Rasul menyuapi orang tersebut. Abu Bakar sebenarnya marah mendengar makian tersebut, tapi beliau menahan amarah ketika dia menghina Rasul dengan amat kasar. Kemudian orang Yahudi itu sadar bahwa yang menyuapi tersebut berbeda dengan orang yang kemarin menyuapinya, sebab orang yang menyuapi sebelumnya lebih lembut. Abu Bakar bilang yang biasa menyuapinya adalah yang dia hina dan dia maki. Seketika Yahudi tersebut menangis,” lanjut ibu.

Hatiku bergetar mendengar cerita ibu. Adakah orang selembut dan sesabar Rasulullah?

Malam pekat, dengan membawa bahan bakar yang kuambil dari tangki motor, aku pergi ke kantor petugas keamanan. Aku ingin merencanakan aksi nekat seperti dalam buku “Dalam Kobaran Api”, membakar diri dan memicu aksi rakyat seluru negeri untuk menolak ketidakadilan. Kalau kupikir, apa yang kualami ini seperti dalam novel karya Tahar Ben Jelloun, penulis Maroko itu.

Sesampai di kantor petugas keamanan, aku menghampiri seorang petugas yang berjaga. Baik-baik aku meminta gerobakku kembali karena besok akan kugunakan lagi berjualan. Tapi dia tersenyum menyeringai dan memukul lenganku dengan kasar sambil mengusirku pergi.

Aku pergi mendekat ke gerobak yang di parkir di halaman. Kutatap petugas tadi dari kejauhan yang terlihat sudah memejamkan mata. Kusiramkan bahan bakar ke seluruh tubuhku sambil mengumpat dan berjanji aksi nekatku akan berakhir sama dengan novel yang sudah kubaca. Aksi seluruh rakyat akan menghentikan kedholiman pemerintah setelah mendengar aksi bakar diriku.

Tapi seketika wajah teduh ibu membayang di depan mataku. Lengkap dengan nasehatnya untuk memperbanyak sholawat. Layar lain terlihat ibu bercerita betapa sabarnya Rasulullah dalam menghadapi orang-orang yang membencinya. Kenangan lain datang dari para guruku yang tak sekalipun mengajarkan kebencian, yang selalu mengingatkan untuk tetap bersikap tawadhu’.

Korek api yang siap menyala akhirnya kubuang. Hanya tubuhku basah kuyup beraroma bensin. Aksiku berakhir antiklimaks. Wajah-wajah orang yang menyayangiku memenangkan pertarungan melawan amarahku.

 

***

 

           

Setelah pulang dari masjid, aku menuju perpustakaan pribadiku dan mengambil novel Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari. Novel tentang korupsi ini pernah kubaca. Siang ini aku iseng ingin membacanya lagi. Kubuka acak halaman, kebetulan terbuka halaman dengan kejadian saat Kabul berdiskusi dengan Basar dan Pak Tarya tentang tujuan Nabi Muhammad diutus. Disebutkan dalam diskusi bahwa, “Tidak diutus Nabi Muhammad kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia.” Kata kecuali dalam kalimat itu menjadi diskusi yang panjang.

Di ruang perpustakaan pribadiku, aku membaca sholawat Nariyah. Dan seperti hari-hari yang lalu, kesejukan yang entah datang darimana itu, menyambutku. Kemarau panjang ini membawa udara yang gerah meski di malam hari di desa. Tapi kesejukan ini terasa berbeda. Shollu alaihi. Kesejukan kembali menyapa.

Selepas sholat Maghrib di masjid, beberapa orang ngobrol tentang pemilihan kepala desa. Kata mereka, petahana kalah.

Malam hari ada keramaian di rumah salah seorang tokoh desa yang kebetulan masih bertetangga denganku. Aku keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Dari kabar yang beredar di antara orang-orang yang berkerumun, tokoh tersebut baru dipulangkan setelah diculik tadi siang oleh seorang wakil rakyat daerah.

Kulihat mobil polisi diparkir di depan rumah tokoh tersebut. Aku mendekat di teras rumah. Mendengar pemilik rumah bercerita tentang kejadian yang menimpanya.

Peristiwa berawal dari beberapa waktu sebelum pemilihan kepala desa, tokoh itu didatangi oleh wakil rakyat. Maksud kedatangannya meminta tokoh desa mendukung kepala desa petahana, dengan cara menjadi tim sukses. Tokoh desa menyetujui, karena ada perasaan segan dan khawatir akan keselamatan keluarganya, sebab wakil rakyat memintanya dengan ancaman.

Ketika pemilihan desa berlangsung dan hasil tak berpihak pada petahana, wakil rakyat kembali datang ke rumah tokoh itu. Mengintimidasinya di dalam mobil, wajahnya diludahi oleh orang terhormat tersebut. Setelahnya sebuah pukulan dari tangannya yang besar menghantam wajahnya hingga salah satu gigi tanggal. Darah mengucur dari mulutnya.

 

***

 

            Aku didatangi teman-temanku dulu yang ikut demo. Kali ini ia kembali mengajakku untuk demo karena menilai seorang telah menghina agama. Ia bersemangat menceritakan kronologis sehingga ia terbakar emosi, apalagi sang pimpinan demo mengklaim bahwa demo ini adalah demo untuk berjihad. Sesaat hatiku bergejolak. Sambil mengepalkan tangan, temanku memberi semangat keras sekali. Kuikuti dengan kepalan tangan serupa.

            Masih dalam kepalan tangan, kuingat ucapan ibu yang membuat hatiku merasa lapang, “Perbanyak sholawat, Nak. Agar hatimu teduh.”

            Angin sejuk berhembus. Kulihat mata temanku yang menyala mulai meredup setelah sambil tersenyum kuulang kata-kata ibu. Shollu ‘ala Muhammad.

 

 

 

 

 

 

 

Tentang Penulis

 

 

Danang Febriansyah, alumni Pondok Pesantren Al Muayyad Surakarta dan alumni #KampusFiksi 13 Yogyakarta. Dari Sastra Alit Surakarta belajar lebih banyak karya sastra. Dari FLP Solo tahu bahwa menulis adalah mencerahkan.

Pernah menulis cerpen, puisi, resensi buku dan dimuat di berbagai media, Solopos, Joglosemar, Jawa Pos Radar Mojokerto, Koran Muria, Merah Putih Pos, Koran Pantura, Simalaba.net, Floressastra.com, Cendananews.com, magrib.id, dan lain sebagainya.

Pernah membukukan tulisannya dalam antologi dan buku tunggal berupa cerpen, memoar dan puisi diterbitkan oleh penerbit Elex Media, nulisbuku.com, Taman Budaya Jawa Tengah, Diomedia. Novelnya “Arundaya: di Masjid Kutemukan Cintaku” diterbitkan Penerbit Diomedia 2019. Novel “Arundaya” kemudian dialihbahasakan ke dalam Bahasa Jawa, dan terbit pada Oktober 2021.

Tinggal di Bulukerto, Wonogiri sambil membuka perpustakaan nirlaba “Fatiha” dan tergabung dalam Forum Taman Baca Masyarakat Kab. Wonogiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buku-buku Membangun Peradaban di Kamarku

Dalam   Norwegian Wood   terbitan KPG Halaman 45, Haruki Murakami menuliskan, “Kalau kita membaca buku yang sama dengan yang dibaca orang la...