Ardhanareswari
"Ardhanareswari," jawabku ketika ada keluarga yang menanyakan nama putri kecil kami ketika itu hari Jum'at, 27 Mei 2011 jam 09.15 WIB.
***
Sembilan bulan sebelumnya, saat itu selepas maghrib, di dalam kamar kos kecil dengan kasur yang teramat tipis, istriku memberitahu kalau dia hamil. Jelas saja saya kaget, makanya saat itu saya hanya diam dengan berbagai pikiran berkecamuk di otakku, antara seneng dan terkejut. Seneng karena tak semua orang bisa mendapatkan anugerah yang sebesar ini, dan tak semua orang dipercaya Sang Raja Manusia dipercaya untuk memiliki buah hati. Terkejut karena tak menyangka akan secepat ini, 3 bulan setelah pernikahan kami.
Sejak saat itu kami rutin memeriksakan kehamilan ke dokter yang direkomendasikan teman istri saya di daerah Pasar Gede, Solo. Tiap 2 minggu sekitar jam 7 malam kami periksa dengan mengantri lewat telepon siang harinya, setelah periksa kami harus menebus obat dari resep dokter ke apotek di daerah Pasar Kembang, Solo.
Kami lihat perkembangan janin dari foto USG, dari kecil, tidak nampak, sampai terbentuk wujudnya dengan terlihat jari tangan, jari kaki dan bergerak menendang nampak diperut istriku. Kumpulan foto-foto USG itu kami kumpulkan dalam sebuah album foto untuk kenangan tentang anak pertama kami, Sekitar 6 / 7 bulan dokter mengatakan kalau anak kami kemungkinan lahir sebagai perempuan. Bahagia kami akan memiliki putri.
Ketika periksa tak seluruhnya lancar, banyak kendala, awal-awal periksakami belum mengetahui kalau periksa kebanyakan antri dulu dari telepon siang harinya, antara marah dan sebel kami datang paling awal sekitar jam 7, ada pasien datang lebih lambat dari kami malah dipanggil untuk periksa lebih dulu dari kami. Saya kasihan dengan istri saya yang harus menunggu lama dalam keadaan hamil, ternyata pasien itu sudah daftar duluan siang harinya. Setelah itu kami baru tahu kalau periksa, ambil nomer antrian dulu melalui telepon. Pernah juga kami periksa dalam keadaan hujan lebat. kami pulang periksa sekitar jam 10 malam, hujan dari jam 7 belum juga reda bahkan makin lebat, kami memutuskan nekat dengan mengenakan mantel hujan mengendarai motor. Saya harus menjalankan motor dengan teramat pelan, karena ada istri saya yang sedang hamil. Akhirnya kami sampai di kos dengan basah kuyup. Perjuangan menjaga calon putri pertama kami.
Pukulan keras, ketika hari-hari menjelang kelahiran kami diberitahu ketika periksa bahwa putri kami terlilit tali pusar. Sedih banget saat itu, tapi sang dokter menenangkan hati kami kalau ada kemungkinan bisa terlepas ketika akan melahirkan.
Kami ingin kelahiran putri kami normal, seperti kebanyakan ibu yang lain, istri saya ingin melahirkan secara normal,maka ketika ada kabar seperti itu, kami sedih,kami tak berharap kelahiran cesar.
Sepuluh hari menjelang kelahiran, kami sekali lagi memeriksakan kandungan istri saya ke rumah sakit tempat dokter yang biasa tempat kami periksa. Ternyata masih terlilit tali pusar.
Sampai akhirnya istri saya mengambil cuti dari tempat kerjanya, cuti melahirkan. Kami pulang ke Desa, berhari-hari tanda-tanda akan melahirkan tidak ada sampai duahari menjelang Hari Perkiraan Lahir, kami periksakan kembali kandungan istri saya ke dokter di wilayah Ponorogo dengan diantar oleh ayah dan ibu saya. Lagi-lagi kondisi janin tidak berubah, berarti kelahiran harus dengan cara operasi.
Satu hari sebelum hari ulang tahun pernikahan kami, kami kembali ke Ponorogo untuk kelahiran calon putri kami diantar oleh keluarga saya lagi. Sedangkan biaya yang harus dikeluarkan melebihi tabungan kami yang rencananya hanya untuk kelahiran normal. Bingung, itu pasti, hanya berdoa kepada-Nya kami memohon untuk dilancarkan semuanya. Akhirnya ada bantuan dari orang tua kami.
Jelang kelahiran, istri saya masuk ruang operasi dengan sedikit ganjalan,perilaku para perawat di Rumah Bersalin itu layaknya ibu tiri yang sadis, kejam dan merampas hak para pasien.
"Gini aja berteriak kesakitan, apalagi kalau lahir normal!"bentak perawat itu dengan wajah yang kejam tanpa kelembutan sedikitpun.
Detik-detikkelahiran, sekitar jam 09.00 pagi saya disuruh menunggu diluar ruang operasi, padahal saya ingin menemani istri saya. Saya telepon ayah dan ibu mertua saya,memohon doa untuk kelancaran semuanya, tapi tidak tersambung. Setelah menunggu agaklama, akhirnya telepon saya diangkat oleh ibu, tetes air mata saya memohon doa pada ibu. Setelah disuruh menunggu diluar ruang,akhirnya saya hanya menunggu di luar ruang, dengan Al-Qur'an saku, saya membaca ayat-ayat suci sambil berdoa untuk keselamatan istri saya dan calon anak kami, masih belum ada kabar dari dalam ruang, saya memutuskan untuk sholat dhuha dimushola Rumah Bersalin itu, dua rakaat kemudian dzikir, istighfar, shalawat memohon kemurahanNya untuk kelancaran persalinan istri saya. Setelah itu saya kembali ke depan ruang operasi dan membaca Al-Qur'an lagi.
Tak lama berselang, perawat galak keluar menggendong bayi mungil dan memanggil nama saya. Itulan anak kami,perawat kejam itu membawa anak kami ke ruangan khusus, saya mengikutinya untuk mengadzani. di sana saya pertama kami melihat putri kami, saya kumandangkan adzan, matanya seakan menatap saya, bening, cantik. "Semoga kau menjadi wanitah sholihah, nak," ucapku dalam hati.
Kemudian saya kembali ke ruang operasi,membantu istri saya yang masih lemah untuk dipindahkan ke ruang lain, dari hidungnya masih terpasang selang oksigen, dia nampak tidak sadarkan diri. Setelah beberapa lama,dia merasa dingin, tangan dan kakinya bergetar kedinginan, saya pegang mencoba untuk menghangatkan, sambil terus saya ajak bicara, saya tidak mau dia tertidur.
Setelah semua tenang,hati kami berbinar bahagia mengucap Hamdalah berkali-kali, bersyukur atas karunianya Meski dengan ganjalan di hati atas perilaku perawat-perawat itu.
Telepon dari orang tua kami di Palembang menunjukkan kebahagiaan.
"Ardhanareswari," jawabku ketika ada keluarga yang menanyakan nama putri kecil kami ketika itu hari Jum'at, 27 Mei 2011 jam 09.15 WIB.
"Jadilah pribadi yang berbakti, cerdas dan berprestasi"
MENULIS ADALAH HASRATKU
Ya, menulis sejak tahun 1997 ketika saya masih sangat remaja sekali, ketika orang lain menyebut masa SMA adalah sebagai masa yang indah karena dapat bebas meluapkan masa remajanya, yang kebanyakan dilepaskan dengan lepas kendali. Tapi saya tidak bisa, saya menjalani masa SMA di sebuah pesantren dengan pengawasan yang ketat dan disiplin yang tinggi, jadi apa yang harus kuluapkan? Apalagi dengan lepas kendali?
Maka saya menulis. Pertama saya menulis adalah resensi film yang pernah saya tonton, menulis dengan buku tulis dan pulpen. Tulisan keduaku adalah novel, saat itu sedang booming novel dan film laga. Dan akupun menulis tanpa bantuan komputer, hanya buku tulis dan pulpen aku mulai novel pertamaku dengan tema laga, dengan jagoan bersenjata golok.
Tulisan keduaku masih berupa novel, kali ini bersetting padang pasir, mungkin di Afrika atau Timur Tengah. Kisahnya tentang rombongan Antropolog yang menjelajahi padang pasir untuk sebuah penelitian. Dan karena suatu sebab, rombongan ilmuwan itu tersesat karena kendaraan yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Satu persatu para ilmuwan itu tak dapat bertahan di ganasnya padang pasir dan meninggal di situ. Dan menyisakan satu orang ilmuwan yang masih berusaha bertahan hidup di padang pasir dengan segala keterbatasannya. Hingga beberapa minggu kemudian ada kecelakaan pesawat kecil yang jatuh di padang pasir itu. Ada korban selamat dan akhirnya berteman dengan ilmuwan itu. Endingnya mereka berdua diselamatkan oleh sebuah pencarian. Yang aku merasa suka dengan novel ini, ternyata setelahnya ada film yang ceritanya mirip dengan novel keduaku itu dan filme itu mendapatkan piala Oscar.
Tulisan ketiga masih berupa novel dengan buku tulis. Bercerita tentang sekawanan anak SMP yang berkemah di alas roban, kemudian tanpa sengaja mendapati sebuah rumah di tengah hutan yang dijadikan markas oleh para gembong narkoba. Sekawanan anak SMP itu berusaha membongkar pelanggaran hukum para gembong narkoba itu dan rela berkorban apapu, disekap oleh mereka. Sampai akhirnya salah seorang remaja itu bisa keluar hutan dan melaporkan apa yang dilihat kepada polisi. Kemudian sekawanan anak SMP ini menyatakan diri sebagai kelompok detektif kecil.
Tulisan keempat adalah sekuel dari detektif cilik. Karena jasanya membongkar gembong narkoba, mereka mendapat beasiswa sekolah ke Australia. Di sana mereka juga membongkar kasus pembunuhan yang sangat berbelit-belit. Tapi novel ini tidak selesai...
Yang menjadi penyesalan adalah saya kehilangan semua tulisan-tulisan pertama saya itu.
Tulisan kelima berupa novel berjudul Hidup. Tulisan ini yang pertama kali dipublikasikan. Cerpen ini dimuat di buletin Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta “Ayyada.”
Tahun 2000 aku mulai menulis beberapa cerpen dan tahun 2004 aku mengikuti kursus jurnalistik jarak jauh di LPWI (Lembaga Pendidikan Wartawan Indonesia) Ummul Quro, Purwodadi. Saya lulus dan mendapat kesempatan magang sebagai wartawan di sebuah koran mingguan di Jawa Timur. Saya dibekali ID Card Pers yang berlaku selama enam bulan. Tapi kesempatan magang itu tidak saya ambil mengingat jarak yang jauh dari tempat tinggal saya.
Sayapun masih aktif dengan tulisan cerpen-cerpen, kemudian awal tahun 2005 saya bergabung dengan FLP (Forum Lingkar Pena) Soloraya dengan mengikuti pelatihan yang diadakan FLP, saya mengambil kelas menulis Fiksi. Beberapa cerpen saya masuk nominasi untuk dibahas dalam forum bahas karya FLP. Sebuah kebanggaan...
Agustus tahun 2006 Cerpen saya dimuat di Harian Solo Pos, bangga dan sangat bahagia sekali. Cerpen remaja yang mengangkat tema kebijakan Ujian Nasional yang dirasa tidak adil. Kurang lebih sebuan kemudian honor cerpen turun. Inilah yang saya maksud menikmati proses mengesampingkan hasil. Saya menikmati proses menulis saya tanpa bermimpi untuk apa tulisan saya.
Sebulan kemudian cerpen kedua saya kembali dimuat di Solo Pos, cerpen berjudul Edan. Dan serasa gila juga karena dalam satu dua bulan sebagai penulis pemula dua cerpen masuk media massa.
Kemudian tahun 2007, saya dihubungi ketua FLP Solo untuk mengirimkan beberapa cerpen saya untuk diikutkan dalam lomba menulis cerpen.
Alhamdulillah, cerpen saya masuk 10 besar dan berhak dimuat dalam buku Antologi Cerpen 10 Cerpenis Jawa Tengah. Sesuatu tak terduga, sama tak terduganya ketika launching buku itu saya ditunjuk maju ke depan untuk membacakan cerpen saya. Karena saya tak menduga dan teramat sangat gugup, akhirnya saya meminta diwakilkan oleh salah seorang mentor saya di FLP, salah sata inspirator saya di FLP, seorang kartunis, cerpenis NasSirun Purwokartun atau biasa kami panggil Kang NasS.
Setelah itu tidak tahu mengapa, saya vakum menulis, entah karena punya kesibukan lain, membantu orang tua di usaha percetakannya, masuk menjadi honorer sebagai staf Tata Usaha di sebuah SMP, atau karena yang lain? Entahlah, tapi masa vakum menulis itu yang tidak saya suka, tapi saya jalani.
Dan 2013, saya kembali menulis. Saya mengirimkan tcerpen lama saya ke Majalah Serambi Al-Muayyad dan dimuat pada bulan Agustus 2013.
Tapi tulisan pertama saya setelah vakum sekian lama adalah terinspirasi dari istri dan anak perempuan kami yang masih dua tahun dengan seorang ibu pemulung dengan dua anak balitanya yang memulung dimalam hari. Yang mengais sampah di tempat sampah warga.. Pengalaman inspiratif ini saya tulis dalam sebuah cerpen berjudul “Lebaran Reri” yang dimuat di Majalah Hadila September 2013.
Kemudian saya mencoba mengumpulkan cerpen-cerpen saya juga satu novel saya untuk saya terbitkan sendiri, self publisher melalui www.nulisbuku.com.
Semoga Februari 2014 ini buku-buku saya itu bisa terbit. Sekarang saya kembali memulai menulis dan menikmati proses menulis novel saya.
Semoga bisa bermanfaat, selayaknya cahaya bulan sabit, tetap bercahaya meski tak purnama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar