Minggu, 16 Maret 2025

Buku-buku Membangun Peradaban di Kamarku


Dalam
 Norwegian Wood terbitan KPG Halaman 45, Haruki Murakami menuliskan, “Kalau kita membaca buku yang sama dengan yang dibaca orang lain, kita cuma bisa berpikir seperti orang lain.”

Kahlil Gibran adalah nama yang tak pernah tersebut di desaku pada awal 2000-an. Pun buku-bukunya. Tak pernah terpikirkan siapa dia di desa ini. Di abad 21 permulaan itu aku mendapat kesempatan setiap minggu sekali pergi ke Solo. Selain menyempatkan pergi ke toko kaset, juga aku pergi ke toko buku. Satu-satunya toko buku yang kukenal saat itu di Solo adalah Toko Buku Sekawan. Dan buku yang kubeli adalah karya Kahlil Gibran. Mulai saat itu, buku-buku membangun peradabannya di kamarku.

Di tahun 1997 aku mulai menulis, meski hanya untuk dikonsumsi sendiri. Dan mulai banyak membaca serta membeli buku di tahun 2000-an ketika sudah pulang ke desa di Bulukerto, Wonogiri setelah lulus dari sekolah di Solo. Itulah awal mulainya aku mencintai buku-buku.

Tahun berjalan, buku-buku semakin menambah penduduk baru di kamar. Maka kubelikan rak dari kios di dekat UNS. Setelah mulai jarang ke Solo, aku juga semakin jarang membeli buku. Dan kebetulan aku melihat di sebuah kios di Purwantoro, aku melihat toko buku. Maka minat bukuku kembali lagi. Beberapa buku-buku keagamaan aku membelinya dari kios kecil ini.

Ada niat yang muncul di otakku. Aku tak ingin mengkonsumsi sendiri buku-buku yang mulai kuberi label dan katalog. Pada teman-teman yang mengajar TPA (Taman Pendidikan Alquran), aku menginfokan beberapa buku. Tak semua teman antusias dengan buku-buku, hanya beberapa saja. Dan beberapa teman itu kemudian meminjam buku. Mereka tak mengambilnya di tempatku, tapi aku rela membawa buku kepada mereka. Sejak saat itu Perpustakaan pribadi yang kuberi nama “Pustaka Dan” berdiri. Motto perpustakaan ini adalah “Bila Ilmu Lebih Berharga”. Embrio taman baca ini belum dibuka untuk umum, masih di dalam kamar kecil dan sebagai teman saat sendirian di rumah. Pada era ini, karya puncak Kahlil Gibran, “Sang Nabi” terbeli. Buku fenomenal karya Fauzil Adhim, “Kado Pernikahan untuk Istriku” juga memperbanyak katalog meski saat itu jomblo menjadi status yang kusandang J . Tapi, buku tebal hard cover ini di kemudian hari menjadi buku paling laris dipinjam. Tahu kenapa? Hehe.

Tahun 2005 akhir, aku bergabung dengan FLP (Forum Lingkar Pena) Solo setelah setahun sebelumnya mencari informasi tentang komunitas menulis ini. Dan pelatihan menulis ke Solo seminggu sekali bersama FLP selama 3 bulan kujalani. Dari sini katalog bukuku semakin bertambah karena semakin banyak karya sastra yang kutahu. Kini belanja bukuku beralih ke Gramedia Slamet Riyadi, sebab buku terbaru dan lebih lengkap ada di sini. Setiap minggu aku belanja buku di sini. Ya, setiap minggu, dari hasil kerjaku membuka jasa pengetikan dan desain. Pada tahun-tahun ini, usaha jasa pengetikan meski di desa cukup untuk biayaku belanja buku. Belum banyak warga memiliki komputer, beda dengan saat ini.

Seri “Supernova” Dee cetakan awal kubeli pada tahun-tahun itu. Jauh sebelum semakin booming Supernova yang sekarang. Lima buku tebal seri Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi dalam waktu satu bulan juga mampu mengisi rak buku. Juga buku-buku lain dari berbagai karya penulis, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Seno Gumira Ajidarma, dan juga berbagai karya non fiksi. Sedangkan novel tipis “Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta” karya Luis Sepulveda yang diterbitkan Marjin Kiri adalah buku yang tak sengaja aku beli. Di sebuah minggu di Solo, aku harus membeli buku, karena aku sudah memiliki niat tiap minggu harus beli buku. Tapi di minggu itu, aku tak tahu buku apa yang harus kubeli. Sebab aku merasa sudah membeli buku dari penulis-penulis yang kutahu dari FLP, Ayat-ayat Cinta – Habiburrahman Al Shirazy, Ronggeng Dukuh Paruk – Ahmad Tohari, juga Sang Alkemis – Paulo Coelho sudah kupunya. Tapi di minggu itu aku tak tahu harus beli buku apa. Dan mataku melihat sebuah buku tipis dengan judul yang bagiku menarik, “Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta”, maka tanpa pikir panjang kubeli juga buku itu. Dan ternyata aku menyukai kisah di buku itu.

Aku memastikan buku-buku yang membangun peradaban di kamarku itu adalah satu-satunya buku di desa ini. Paling tidak sebagian. Karena itu aku ingin berbagi bahan bacaan pada siapapun yang mau membaca. Kukabarkan kepada kawan-kawan tentang buku-buku itu. Satu per satu kawan meminjamnya. Tidak banyak memang. Tapi ada rasa bahagia ketika melihat ada yang mau membaca buku. Novel Gajah Mada, Ayat-Ayat Cinta, dan Kado Pernikahan untuk Istriku mulai ada yang membacanya.

Kabar tentang buku-buku ini mulai keluar desa. Ada yang dari luar desa meminjam sebuah buku. Tapi sayangnya, sampai sekarang sudah lebih dari sepuluh tahun, buku yang dipinjam tak pernah kembali. Kecewa? Pasti. Sedih? Tentu. Kejadian ini kemudian mengingatkanku akan pesan Gol A Gong ketika ngobrol FLP Solo bersama beliau di Solo, bahwa ketika kita berniat membuka taman baca, jangan takut buku hilang. Ya sudah, biarkan buku tak kembali, semoga itu bermanfaat baginya.

Gerilya literasi tak hanya sekadar itu yang kulakukan. Bersama kawan-kawan di TPA Arrahman, kami menerbitkan buletin Bil Haq yang terbit setiap bulan. Oplah paling banyak adalah 500 lembar buletin yang masuk ke sekolah-sekolah dan masjid-masjid. Buletin itu disebar oleh kawan-kawan sedesa yang masih sekolah atau kami sebar sendiri. Pernah buletin Bil Haq menerima tulisan dari kontributor dan kami beri honor sebuah buku.

Giat buku ini vakum ketika aku harus ke Solo di tahun 2010 hingga 2015. Pada tahun itu kegiatan literasiku di desa juga berhenti, meski buku bertambah karena ternyata istriku juga mengoleksi buku. Selama tahun itu aku tidak lagi membeli buku. Pada tahun 2013, buku-buku di serang rayap saat aku di Solo. Kerusakan parah diderita novel Supernova: Akar – Dee dan Ayat-ayat Cinta – Habiburrahman Al Shirazy. Beberapa buku lain juga mengalami kerusakan. Ini sangat menyakitkan, melebihi sakitnya buku dipinjam dan tidak kembali.

Kembali ke desa pada tahun 2015, aku kembali bersama buku. Beberapa buku kudisplay di Salo Reri, salon yang dikelola istriku di Kecamatan Puhpelem yang baru didirikannya, agar pelanggan salon setidaknya mengantri sambil membaca buku.

Aku tetap bergerilya membudayakan buku sendirian. Sebuah support datang dari kawan penulis di Solo, Mbak Indah Darmastuti, Tan Malaka juga sendiri, katanya. Ini melecut semangatku untuk terus membumikan buku di desa, meski sendirian. Sendirian juga bisa berjalan kok? Jadi kuputuskan untuk sendirian mulai membangun taman baca.

Ketika aku membaca koran Jawa Pos, aku membaca profil Mas Wahyudi Rumah Baca Sang Petualang bersama Ndok Dadar Pustaka. Pikirku, berarti di Wonogiri ini akses baca bisa dikembangkan, dibuktikan oleh seorang relawan tersebut yang kini desa tempat tinggalnya dikenal sebagai desa literasi. Segera aku cari akun Facebooknya dan ku add. Ternyata permintaan pertemanan di FB di ACC oleh beliau. Jadilah aku mengikuti kegiatannya seperti apa dan niatnya untuk menjadikan Wonogiri sebagai Kabupaten Literasi. Dan akhirnya aku bergabung dengan Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Wonogiri. Dari sini aku sudah tak lagi merasa sendirian. Dan di sini juga Teras Baca Salon Reri dengan tagline “Membaca itu Bahagia” diliput oleh Jawa Pos Radar Solo.

Sejak saat itu, taman baca yang pernah kurintis sejak awal 2000-an, kini menggeliat kembali. Branding perpustakaan pribadi Pustaka Dan kemudian kuubah menjadi Taman Baca Naturalitera, biar tak lagi sebagai perpustakaan pribadi. Tagline pun menjadai “Membudayakan membaca, membumikan buku”, harapannya biar membaca bisa menjadi budaya, setidaknya di desa ini, dan buku bisa diakses dan dijangkau banyak orang, tak lagi menjadi kebutuhan sekunder

Beberapa kawan dari luar daerah kemudian mendonasikan bukunya untuk taman baca ini. Buku-buku donasi dari kawan-kawan dari beberapa daerah datang. Seorang pegawai Perpustakaan Nasional juga pernah mendonasikan puluhan buku-buku. Pun seorang kawan penulis di Solo, Mas Yudi Herwibowo mendonasikan 3 kardus buku untuk taman baca ini. Sebuah penerbit di Sumatera Selatan juga pernah mendonasikan buku-buku terbitannya di taman baca ini. Beberapa buku di Taman Baca Naturalitera juga pernah didonasikan untuk taman baca lain.

Dalam usaha membumikan buku ini tetap saja ada kendala, misalnya kurangnya dana yang mengakibatkan taman baca ini tidak mempunyai rak buku. Jadi buku hanya diletakkan di teras rumah. Kendala lain adalah di desa ini hanya sendirian, tak ada relawan lain sehingga kegiatan-kegiatan dan ide yang mendorong tumbuhnya minat baca tidak bisa dieksekusi.

Buku-buku di Taman Baca Naturalitera memang belum banyak, tapi tetap misi membudayakan membaca dan membumikan buku terus tertanam di hidupku. Bagaimanapun juga pada awalnya, buku-buku telah membangun peradaban mereka dari kamarku.

Untuk kesekian kali taman baca yang kubangun berganti nama. Kini menjadi Taman Baca Fatiha sejak resmi bergabung dengan Forum Taman Baca Masyarakat (FTBM) dan mendapat nomor anggota. Sejak itu beberapa donasi buku beberapa kali datang. Dari Kang Maman Suherman dan dari toko buku Patjarmerah yang secara simbolis dibertikan oleh Raja Mangkunegara X. Terakhir bantuan dari Perpustakaan Nasional dengan seribu judul buku anak lengkap dengan rak buku.

Sampai saat ini buku-buku yang berawal membangun peradaban dari kamar itu sudah terbuka untuk umum. Masih kecil, tapi semoga terus menebar makna.


Dimuat di: https://disarpus.wonogirikab.go.id/buku-buku-membangun-peradaban-di-kamarku/

Membaca, Bercerita dan Menjadi Teman Bagi Anak

Membaca Buku di teras baca Salon Reri


Di sebuah sore menjelang senja, Reri – anak kami tiba-tiba bicara tentang aurora. Tapi aurora tersebut tidak bisa dilihat dari sini, katanya. Kami – ayah dan bundanya heran bagaimana anak usia 7 tahun bicara tentang aurora yang dari langit Indonesia tidak bisa dilihat. Aku bertanya darimana dia tahu tentang aurora. Reri menjawab, “Dari membaca buku.”

Membaca, adalah kuncinya. Kami bangga dengan pengetahuan yang dia tahu. Aku sebagai ayahnya memang tidak memaksa dia membaca buku. Tapi aku sering memperlihatkan padanya ketika sedang membaca buku. Meski sesekali bicara dan menyarankan dia membaca buku, tapi tentu tanpa memaksanya. Namun Reri selalu bilang, nggak suka membaca. Ia ingin bercita-cita menjadi pelukis.

Dalam hal membaca buku, Reri dengan terang bilang bahwa ia tidak suka membaca buku, akan tetapi karena di rumah banyak buku, ia kadang “tercyduk” sedang membaca buku. Beberapa waktu lalu ia minta untuk berpuasa sunnah Senin – Kamis. Ketika aku tanya darimana niatnya itu datang, ia menjawab dari buku Seri Adab Anak Islam “30 Cerita Islami Terpopuler Sepanjang Masa” karya Deasylawati dan Ungu Lianza. Akhirnya ia memulai puasa sunnahnya yang pertama kali.

Aku tidak memaksa ia membaca buku. Tapi di rumah, telah kusediakan banyak buku yang aman dan baik dibaca siapa saja, termasuk anak kami. Aku tidak melarang dia bilang bahwa ia tidak suka membaca buku, hanya karena ia sering melihat buku di rumah, akhirnya ia mau membaca buku. Dan dampaknya, wawasannya bertambah, ia tahu tentang aurora, tentang migrasi burung, kisah-kisah nabi dan ia juga bisa memulai puasa sunnah Senin – Kamis.

Aku juga membiarkan dia untuk berekspresi tentang apa yang diimajinasikannya. Aku selalu menuruti keinginannya ketika akan beranjak tidur malam selalu ingin dibacakan cerita. Buku tebal kisah 1001 malam, pernah kubacakan meski belum tamat. Beberapa kisah nabi dan cerita rakyat sudah dia tahu.

Ketika masa kanak-kanakku selalu dilarang untuk mengekspresikan keingintahuan, aku malah membebaskan Reri dengan segenap rasa penasarannya. Ketika masa kecilku disuruh diam ketika bertanya apa yang tak kutahu, aku berusaha mendengar dan mencari jawaban apa yang ditanyakan Reri. Ketika marah dan sikap kasar yang kuingat pada masa kanak-kanakku, aku memberikan kelembutan dan pelukan bagi Reri. Reri sering bertanya hal-hal yang di luar pikiran kami. Misal tentang bagaimana terciptanya pelangi, asal usul Allah dan kenapa Allah memberi masalah pada makhluk-Nya jika Allah Maha Baik? Pertanyaan-pertanyaan itu lepas dari prediksi kami bisa keluar dari pikiran Reri di usia 8 tahun. Tapi bagaimanapun harus kami cari jawabannya. Jika kami tidak bisa menjawab saat itu juga, kami memberi alasan pertanyaan itu dijadikan PR oleh kami.

Kami sebagai orang tua dari seorang anak memberi ruang yang luas untuknya bertanya, berbicara, mengkritik, berdiskusi dan bercanda bersama kami. Namun selali kami batasi dengan adab dan akhlak yang baik agar masih tercipta akal untuk menghormati dan menyayangi diantara kami.

Sering dari Reri kami banyak belajar bagaimana seharusnya memperlakukan dia. Sebab di saat aku seusia dia, ruang untuk mengungkapkan pendapat dan sejenisnya adalah tabu. Jika nekat mengatakan yang ingin kukatakan, maka bentakan dan kemarahan yang harus aku terima. Dan hatiku menciut. Aku tak ingin apa yang kualami di masa kecil dialami Reri. Jika aku tumbuh penuh ketakutan, aku ingin Reri tumbuh dengan berani dan bahagia dengan banyak kasih sayang, pelukan dan ruang untuknya berekspresi.

Putri Diana pernah berkata, “Sebuah pelukan bisa memberi banyak manfaat, terutama pada anak-anak.” Kami memberikan banyak pelukan untuk Reri daripada memarahi dan membuatnya merasa bersalah. Kami tak ingin Reri tumbuh dipenuhi rasa bersalah dan takut. Kami menghargai segala usaha yang dilakukan Reri. Meski di bidang akademik di sekolah, Reri belum pernah ranking 1, tapi kami selalu memberikan dia pelukan. Sebagai wujud penghargaan atas usahanya dalam belajar.

Ada yang menganggap sikap kami ini adalah sikap yang memanjakan Reri, kami tidak merasa begitu. Kami juga tak selalu mengabulkan apa yang diminta Reri dan memberitahunya bahwa apa yang kita pinta tak selamanya selalu terpenuhi. Aku hanya berkaca pada pengalaman masa kecilku bahwa sikap kasar, pukulan dan kemarahan yang paling aku ingat sampai sekarang. Dan itu membuatku selalu berpikir negatif dan penuh prasangka serta dendam. Aku tak ingin Reri mengalami perasaan serupa. Kami ingin Reri yang kini usianya menjelang 9 tahun memenuhi masa kanak-kanaknya dengan bahagia. Kami tidak tahu takdirnya di masa depan, tapi setidaknya bekal bahagia di saat sekarang menjadi modal sikap optimis Reri saat dewasa kelak.

Aku tak paham ilmu tentang parenting, aku hanya bercermin dari masa kecilku untuk mendidik Reri di saat sekarang. Membiarkan Reri dengan imajinasi dan mengeksplore banyak hal, tanpa memaksa dia sesuai keinginan kami, orang tuanya. Kata Khaled Hosseini, “Anak-anak bukanlah buku mewarnai. Anda tak dapat mewarnai mereka sesuka hati anda.”

Setiap manusia tentu memiliki jalan hidup masing-masing, tak terkecuali anak-anak. Meskipun anak-anak tersebut adalah anak kita, namun tidak berarti kita yang menentukan jalan hidup mereka. Cara terbaik dalam mendidik mereka bertumbuh adalah dengan membebaskan mereka menentukan jalan hidupnya masing-masing.

Aku tidak menganggap cara kami mendidik Reri adalah yang terbaik. Aku hanya merasa cara kami mendidiknya adalah yang paling pas untuk perkembangan Reri. Kami mendengar perasaan Reri hanya karena di saat aku seusia Reri, berbicara dan mengungkapkan keinginan hati adalah hal terlarang. Mungkin ini masalah zaman. Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian”.

Zaman sekarang disesaki dengan teknologi, tentu berbeda dengan masa lalu yang tak ada media sosial dan gawai seperti yang ada sekarang. Informasi saat ini sangat mudah diakses siapapun, termasuk anak-anak. Karenanya menemani mereka dan mengarahkan mereka kami rasa lebih baik daripada melarang dan memarahi mereka, sebab dengan melarang anak-anak dengan mematahkan rasa keingintahuan mereka malah akan membebani pikiran anak-anak.

Orang tua harus bisa menjadi teman bagi anak-anaknya. Orang tua yang ingin ditakuti anak-anaknya justru akan menjadikan anak melakukan hal-hal yang tidak baik secara diam-diam. Mereka enggan untuk berbagi hal yang dihadapinya dengan orang tua. Mereka akan lebih nyaman berbagi dengan teman-temannya. Jika teman-temannya baik, tidak menjadi masalah. Sebaliknya jika teman-temannya memberi solusi yang justru menjerumuskan mereka pada perbuatan yang tidak baik, ini yang akan menggurita menambah masalah baru.

Orang tua yang bisa berperan menjadi teman bagi anaknya akan membuat anak merasa aman dan nyaman berbagi masalah kepada orang tuanya. Beberapa kali Reri menceritakan kepada kami pengalaman-pengalamannya di sekolah, yang kadang lucu, membuat kami haru dan bangga.

Seringkali Reri enggan membuang sampah di sembarang tempat. Sampah yang sebenarnya harus dibuang dia simpan dahulu, jika ketemu tempat sampah, baru sampah itu dibuang. Atau jika terpaksa harus membuang sampah bukan pada tempatnya karena sampah itu basah dan akan membuat kotor sakunya, ia pasti akan mengucap Basmalah dan memohon ampun pada Tuhan karena membuang sampah sembarangan, dan sampah itu diletakkan dengan pelan. Kami belum mengajari dia membuang sampah harus pada tempat sampah, tapi dia sudah melakukannya.

Jika sudah begini, nilai akademiknya sudah dia kalahkan dengan adab dan akhlak baik yang dia miliki. Sebab dengan membaca, bercerita dan menjadi teman bagi anak akan membuat anak merasa aman dan nyaman.

***

Kini Reri sudah menginjak remaja, ia sudah menjadi siswi SMP. Apa yang menjadi kebiasaan beberapa tahun lalu Ketika SD ada yang sudah berubah.


Dimuat di: https://disarpus.wonogirikab.go.id/membaca-bercerita-dan-menjadi-teman-bagi-anak/

100 Tahun Pramoedya Ananta Toer: Membaca Pram, Membaca Nurani

 Mulai awal tahun 2006, aku selalu menyempatkan main ke Gramedia Solo dengan target tiap minggu harus beli buku. Biasanya sejak dari rumah, aku sudah merencanakan buku apa yang akan kubeli. Namun beberapa kali, aku tidak ada bayangan buku yang ada dibenak, tapi harus beli buku. Dan jika sudah begitu, selalu berkeliling di toko buku besar itu sambil memilih buku yang kuanggap cocok dan pas harganya sesuai isi dompet.

Pada Juli 2006. Berita-berita di koran dan TV mengabarkan bahwa sastrawan nominator nobel Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia. Setelah itu buku karya Pram, sebuah biografi berjudul “Panggil Aku Kartini Saja” banyak diberitakan. Aku terpengaruh untuk membelinya. Maka, pada tanggal 27 Agustus 2006, aku membeli buku ini di Gramedia Solo.

Di buku setebal 304 halaman ini, Pram menulis R.A Kartini sebagai sosok yang tangguh, yang sendirian mendobrak tatanan kasta. Kartini yang seorang perempuan melawan kekuasaan penjajah Belanda, mendobrak dinding tebal kabupaten, berteriak dalam kesepian dalam pingitan, dan melawan semua tekanan sistem feodalisme di Jawa.

Pada halaman 93 buku tersebut, Pram menulis, sudah sejak awal orang mengenal Kartini bersikap pada lingkungan, terhadap tata hidup feodal. Ia lebih bersimpati pada rakyat jelata dan penderitaannya. Kepada kaum feodal, Kartini memproklamasikan bahwa makin tinggi kebangsawanan seseorang, makin berat tugas dan kewajibannya terhadap rakyat. Ini berarti Kartini ingin menyembuhkan tata hidup “feodalisme pribumi yang sakit” dan mengembalikan tugasnya seperti pada zaman sebelum jatuhnya Majapahit. Bila kebangsawanan itu tidak sanggup memikul tugas dan kewajiban itu, dia pun tidak berarti sesuatu pun, dan hanya merupakan beban belaka bagi masyarakat.

Pada buku biografi R.A. Kartini ini, Pramoedya Ananta Toer menggambarkan sosok Kartini dengan penuh daya pesona yang mampu membuat perbedaan dengan pengenalan serta penafsiran atas diri Kartini yang pernah ada.

Dari buku biografi Kartini, aku kemudian penasaran dengan karya lain sosok sastrawan ini. Sebulan kemudian pada 24 September 2006 di toko buku yang sama, saat itu, aku tertarik dengan judul dan desain cover yang klasik juga karya Pramoedya Ananta Toer. Aku ambil dan membayarnya di Kasir, sebuah novel “Midah, Simanis Bergigi Emas”.

Mengenal Pramoedya Ananta Toer dari novel Midah, Simanis Bergigi Emas. Karya sederhana, namun sebenarnya mengkritisi kehidupan pada masa itu, pada setting kisah di tahun 1950-an. Tentang perjalanan seorang gadis dari keluarga yang relijius dan terpandang, namun karena sebuah tekanan dan ketidakadilan di dalam rumah yang menjajah nuraninya, ia berkembang menjadi gadis yang berbeda, berani pergi dari rumah dan tenggelam di jalanan Jakarta yang terkenal ganas pada tahun itu. Ia tidak menyerah pada kehidupan yang dipilihnya, menjadi seorang penyanyi jalanan yang kemudian dikenal dengan sebutan “si manis bergigi emas”. Dalam keadaan hamil, ia terus bertarung dengan kehidupan dan moral yang keras. Kisah ini aku baca hingga dua kali sambil belajar menulis dari novel setebal 134 halaman ini.

“Bersama Mas Pram”, sebuah memoar tentang Pram yang ditulis oleh dua adiknya, Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer. Buku ini aku beli di sebuah toko buku di sebuah kota di Jawa Timur pada 31 Januari 2017. Aku tertarik dengan harga yang ditawarkan, seharga buku obral di toko buku besar. Hanya 25.000 untuk buku setebal 504 halaman itu. Sesampainya di rumah ketika kubuka segel. Jilid bagian punggung buku tidak rata. Isi buku menggunakan kertas buram, foto-foto tidak jelas, banyak noda tinta. Baru aku sadar bahwa ternyata buku itu bajakan. Menyesal aku membelinya, sebab baru kali itu aku tahu wujud buku bajakan.

Tapi tetap saja aku baca.

Kisah perjalanan Pram melalui adiknya. Ia ternyata seorang pekerja keras. Menyekolahkan adik-adiknya setelah bapaknya yang seorang guru – kini disebut PNS – tiada. Pram yang seorang jurnalis mendidik adik-adiknya dengan keras hingga entah mengapa tiba-tiba dituduh sebagai salah satu bagian dari PKI pada 1965 karena menjadi anggota Lekra (Padahal, seperti dalam novel Tjap, karya Yuditeha, Lekra adalah organisasi tersendiri). Pram ditangkap. Juga adik-adiknya. Hidup Pram hampir sebagian besar dihabiskan dalam penjara

Pada memoar tentang Pram ini, ditulis sejak masa kecil Pram di Blora, kemudian di Semarang, Jakarta hingga pada tahun-tahun yang panjang sebagai tahanan politik di Pulau Buru, sampai dibebaskan dan meninggal dunia. Dari tahanan di Pulau Buru, geliat kepenulisan Pram tidaklah habis. Dari memoar ini, kita akan mengenal sosok Pramoedya lebih dalam dan membaca pikiran-pikiran Pram yang menjadi ketakutan pemerintah saat itu. Sayangnya, ini buku bajakan. Jangan beli buku bajakan, ya?

Buku Pram selanjutnya yang aku beli adalah “Cerita Calon Arang” sebuah dongeng klasik Indonesia yang kembali ditulis Pramoedya dengan gayanya. Buku ini kubeli di Toko Buku Diomedia Solo. Cerita Calon Arang gubahan Pramoedya Ananta Toer ini pernah diterbitkan di Spanyol dengan judul “ El Rei, La Bruixa I El Sacerdot” dan di Singapura dengan judul “The King, The Witch and The Priest”.

Aku semakin menyukai karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Apalagi di sebuah sekolah tempatku bekerja membeli buku-buku, salah satunya beberapa karya Pramoedya Ananta Toer. Diantaranya: “Jejak Langkah”, “Medan Prijaji”, “Sang Pemula”, “Gadis Pantai”, dan “Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (Catatan Pulau Buru)”. Semua buku tersebut aku pinjam dan kubaca.

Pertama kubaca adalah Jejak Langkah. Salah satu tetralogi Pulau Buru. Kemudian Medan Prijaji, sebuah roman tentang jurnalis perintis media pertama di Indonesia. Lalu, Gadis Pantai, sebuah novel kritik sosial akan tidak manusiawinya para priyayi pada rakyat biasa. Kemudian Sang Pemula, sebuah naskah semacam biografi dari R.M. Tirto Adhi Soerjo, yang oleh pemerintah cukup dianugerahi jasa sebagai Perintis Pers Indonesia, bukan sebagai Pahlawan Kemerdekaan. Buku ini sebenarnya sangat bagus jika bukan bajakan, sebab foto-foto yang dimuat akan lebih jelas, tidak seperti buku bajakan yang foto-fotonya tidak jelas.

Terakhir kubaca Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Kisah-kisah yang jarang bahkan tidak dimunculkan dalam sejarah bangsa saat penjajahan Belanda dan Jepang. Kita jadi tahu derita tersembunyi dari perjuangan bangsa dalam memperoleh kemerdekaan.

Tentu masih ada karya Pramoedya yang lain yang fenomenal, seperti Bumi Manusia yang sempat dijadikan film, pun Anak Semua Bangsa.

Jika seandainya ada yang menyebutkan kalau belum membaca Bumi Manusia maka belum membaca Pram. Aku akui, aku mengenal Pram memang bukan dari Bumi Manusia, pun belum membaca novel bagus tersebut. Aku membaca Pram, karena membaca nurani kemanusiaan.

100 Tahun Pram tahun ini, buku Tetralogi Pulau Buru kembali terbit. Karya-karya Pramoedya tetap abadi. Seperti kalimat yang pernah diucapkannya, “Menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah”.


Dimuat di: https://disarpus.wonogirikab.go.id/100-tahun-pramoedya-ananta-toer-membaca-pram-membaca-nurani/

Kamis, 16 Januari 2025

Reuni Akbar Sastra-Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran

 

Reuni Akbar dan Mubes IKA Sadaya FIB Unpad Siap Digelar Februari 2025: Momentum Kolaborasi dan Kemajuan Bersama

Jatinangor, 8 Januari 2025 - Musyawarah Ika Sadaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (FIB Unpad) yang diadakan pada Minggu, 8 Desember 2024, di Bale Rumawat Kampus Unpad Dipatiukur, menghasilkan keputusan strategis yang dinanti-nantikan oleh komunitas FIB. Dalam musyawarah ini, yang dihadiri oleh perwakilan Dekanat, seluruh Kepala Program Studi (Kaprodi), alumni lintas jurusan, serta Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FIB, disepakati bahwa Reuni Akbar dan Musyawarah Besar (Mubes) IKA Sadaya akan digelar pada 14 dan 15 Februari 2025 di Kampus FIB Unpad, Jatinangor.

Mengusung tema Six Decades One Legacy Sastra FIB Unpad, acara reuni akbar ini diharapkan menjadi ajang silaturahmi besar-besaran bagi para alumni dari berbagai angkatan sekaligus forum diskusi untuk membangun kolaborasi strategis dalam memajukan Fakultas Ilmu Budaya, alumni, dan mahasiswa.

 

Program Kolaborasi dengan Alumni

Dalam sambutannya, Wakil Dekan I FIB Unpad, Dr. Lina Meilinawati Rahayu, SS., M.Hum, menyampaikan pentingnya peran alumni dalam mendukung pengembangan fakultas, khususnya bagi mahasiswa yang sedang meniti karier. Ia menggarisbawahi tiga program utama yang diharapkan dapat terwujud melalui kolaborasi dengan alumni:

  1. Program Magang Mahasiswa di tempat kerja alumni, sebagai upaya memberikan pengalaman langsung bagi mahasiswa dalam dunia profesional.
  2. Penelitian di Tempat Kerja Alumni, di mana mahasiswa atau dosen dapat mengembangkan kajian ilmiah yang relevan dengan kebutuhan industri dan dunia kerja.
  3. Program Alumni Mengajar, di mana alumni berbagi pengalaman dan wawasan profesionalnya untuk memperkaya pengetahuan mahasiswa.

“Dengan kolaborasi yang erat, kami yakin Fakultas Ilmu Budaya dapat menjadi ekosistem akademik yang tidak hanya unggul dalam pengajaran, tetapi juga berdaya saing dalam membekali mahasiswa untuk masa depan mereka,” ujar Dr. Lina.

 

Harapan dari Acara Reuni Akbar dan Mubes

Yuszak M Yahya, selaku Care Taker Ikasadaya, menekankan bahwa reuni akbar ini tidak hanya menjadi pertemuan nostalgia, tetapi juga langkah awal untuk membangun program-program konkret demi kemajuan Fakultas, alumni, dan mahasiswa.

“Kami berharap acara ini menghasilkan gagasan yang nyata dan program-program inovatif. Dengan keterlibatan semua pihak, termasuk alumni, dekanat, komunitas, mahasiswa, dan pihak eksternal, kita dapat memperkuat fondasi kejayaan Fakultas Ilmu Budaya,” kata Yuszak.

 

Panitia Kolaboratif

Panitia penyelenggara Reuni Akbar dan Mubes IKA Sadaya ini terdiri dari gabungan alumni, pihak Dekanat, program studi, komunitas, BEM, mahasiswa, serta pihak universitas. Tak hanya itu, pihak eksternal yang memiliki potensi untuk memberikan manfaat strategis juga dilibatkan demi keberhasilan acara.

“Masukan, ide, serta pengalaman dari berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk memastikan keberhasilan acara ini dan mencapai tujuan angkatan,” tambah Yuszak.

 

Tujuan Utama Acara

Reuni Akbar dan Mubes IKA Sadaya bertujuan untuk:

  • Mempererat silaturahmi antara alumni dari berbagai angkatan.
  • Mengembangkan database alumni yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai program strategis.
  • Merancang inisiatif kolaboratif yang mendukung mahasiswa, termasuk peluang magang, penelitian, dan pembelajaran langsung dari alumni.
  • Membangun program-program yang mendukung pengembangan karier alumni dan memberikan kontribusi nyata bagi Fakultas Ilmu Budaya.

 

Acara/Program yang Diselenggarakan

1.     MUBES IKA SADAYA

  • Tujuan: Menyusun program strategis IKA SADAYA periode 2025-2028, meningkatkan kolaborasi antar alumni dan komunitas Fakultas Ilmu Budaya, serta mengukuhkan peran IKA SADAYA sebagai wadah komunikasi alumni.
  • Highlight: Pembahasan AD-ART IKA SADAYA dan Pemilihan Ketua IKA SADAYA 2025-2028.
  • Waktu & Tempat: Aula PSBJ, 14 Februari 2025.

 

2.      HARI-HARI SASTRA (H2S)

  • Acara Utama: Bajigur Night (malam kebersamaan dengan sajian bajigur dan cemilan khas Jawa Barat), Bedah Buku Karya Sastra, Antologi Puisi, dan Musikalisasi Puisi.
  • Waktu & Tempat: Di area PSBJ, 14 Februari 2025, 18.30-22.00.

 

3.    IKA SADAYA CUP (Cabang Olahraga)

  • Cabang Olahraga: Sepak Bola, Basket, Futsal, Tenis Meja.
  • Tujuan: Mempererat hubungan antar prodi melalui kompetisi yang sehat dan membangun semangat sportivitas serta kerja sama.
  • Partisipan: Dosen, karyawan, mahasiswa, dan alumni dari tiap jurusan.
  • Hadiah: Trofi Piala IKA SADAYA.
  • Waktu & Tempat: GOR Jati & Kampus FIB, 8-9 Februari 2025.

 

4.      SESI BLUE STAGE 

  • Highlight: Pengukuhan Ketua IKA SADAYA 2025-2028, Games dan Doorprize, Yuki Pas & Friend, KM 21, 5 Band, Sastra All Stars, Elkarmoya, Ebit Beat A, Baban Bandita & Lengking, Monerol.
  • MC: Joe Project P.
  • Waktu & Tempat: Blue Stage, Sabtu, 15 Februari 2025, 08.00 - 17.00.

 

5.      MINI MUSEUM

  • Highlight: Pameran karya sastra alumni, dokumentasi perjalanan Fakultas Ilmu Budaya, dan display artefak sastra.
  • Tujuan: Mengabadikan sejarah Fakultas Ilmu Budaya dan meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra.
  • Waktu & Tempat: Di area Bazaar, 15 Februari 2025, 10.00 - 17.00.

 

6.     UMKM & KARYA SASTRA

  • Kategori Tenant: Buku dan Karya Sastra, Produk Lokal dan Kreatif, Kuliner Tradisional.
  • Tujuan: Mendukung wirausaha alumni dan mahasiswa serta menyediakan platform promosi produk kreatif.
  • Waktu & Tempat: Di area Dekanat, 15 Februari 2025, 09.00 - 17.00, menampilkan 50 tenant.

 

7.     DONOR DARAH - Setetes Darah, Sejuta Harapan

  • Highlight: Kerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI), fasilitas cek kesehatan gratis untuk peserta donor.
  • Tujuan: Berkontribusi langsung pada kesehatan masyarakat dan membangun solidaritas antar civitas akademika.
  • Waktu & Tempat: Di Dekanat, 15 Februari 2025, 09.00 - 14.00.

 

8.      BAKTI SOSIAL

  • Highlight: Pengumpulan baju layak pakai dari alumni, dosen, dan mahasiswa, serta penyaluran baju ke masyarakat kurang mampu.
  • Tujuan: Membantu masyarakat yang membutuhkan dan meningkatkan kesadaran sosial serta solidaritas komunitas.
  • Waktu & Tempat: Di Dekanat, 1 Januari - 15 Februari 2025, 09.00 - 14.00.

 

9.      ALUMNI MENGAJAR - Dari Alumni untuk Generasi Masa Depan

  • Highlight: Sesi berbagi pengalaman oleh alumni sukses, diskusi interaktif tentang pengembangan karier dan keterampilan.
  • Tujuan: Menginspirasi mahasiswa dengan pengalaman nyata dari alumni dan membantu mahasiswa mempersiapkan diri menghadapi dunia kerja.
  • Waktu & Tempat: Di ruang belajar PSBJ, 14 Februari 2025, 13.00 - 16.00.

 

10.    SEMINAR SASTRA BISA (LEADERSHIP)

  • Highlight: Seminar inspiratif tentang kepemimpinan dengan pemateri dari alumni yang berhasil di bidangnya.
  • Tujuan: Meningkatkan wawasan mahasiswa tentang kepemimpinan dan menegaskan peran Fakultas Ilmu Budaya dalam membentuk pemimpin masa depan.
  • Waktu & Tempat: Di Auditorium Gedung B, 14 Februari 2025, 10.00 - 12.00.

 

11.    FESTIVAL BUDAYA

  • Acara Utama: Parade Budaya Prodi, Pameran Tradisi Nusantara, dan Seni Pertunjukan.
  • Waktu & Tempat: Lapangan Kampus FIB Unpad, Sabtu, 15 Februari 2025, 08.00 - 12.00.

 

12.     Penerbitan Buku ENSIKLOPEDIA MEMORABILIA

·  Highlight: Antologi Puisi & Cerpen khusus kontributor para alumni Alumni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran. 

·   Periode Pengumpulan Karya: 30 Desember - 14 Januari 2025.

 

13.    (Support) Toko Second Chance

  • Highlight: Mengajak alumni untuk turut mensupport Toko Second Chance (yang berlokasi di kampus FIB Unpad) dengan menyumbang barang-barang layak pakai dan layak jual. 
  • Sasaran utama: hasil penjualan akan disumbangkan kepada adik-adik mahasiswa FIB Unpad yang membutuhkan

 

Ajakan untuk Berpartisipasi

Seluruh alumni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran diundang untuk turut berpartisipasi dalam Reuni Akbar dan Mubes ini. Partisipasi aktif dan dukungan ide-ide segar dari para alumni diharapkan dapat memperkuat hasil yang dirumuskan dalam acara ini, demi kejayaan FIB Unpad di masa mendatang.

 

Untuk info lanjut silakan kontak team Humas melalui DM (direct messages) sosial media resmi Ika Sadaya FIB Unpad:

Facebook: Ika Sadaya

Facebook Group: Reuni Akbar Sastra dan Ilmu Budaya Unpad 2025

Instagram: @ikasadaya.official 


Buku-buku Membangun Peradaban di Kamarku

Dalam   Norwegian Wood   terbitan KPG Halaman 45, Haruki Murakami menuliskan, “Kalau kita membaca buku yang sama dengan yang dibaca orang la...